TEORI BELAJAR


Hasil gambar untuk TEORI BELAJAR
        Latar Belakang
Di negara Negara berkembang, adopsi sistem pendidikan dari luar seringkali mengalami kesulitan untuk berkembang. Cara dan system pendidikan yang ada menjadi sering menjadi sasaran kritik dan kecaman karena seluruh daya guna system pendidikan tersebut diragukan. Generasi muda banyak yang memberontak  terhadap metode metode dan system pendidikan yang ada. Bahaya yang dapat timbul dari keadaan tersebut bukan hanya bentrokan bentrokan dan malapetaka, melainkan justru bahaya yang lebih fundamental yaitu lenyapnya sifat sifat perikemanusiaan. Sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi hancur. Pola piker yang semula terstruktur rapi menjadi kacau dan tak menentu.
Jika kita terus melangkah dengan cara mengemas pendidikan, pembelajaran, dan belajar seperti sekarang ini, kiata akan bertemu dengan peserta didik yang cenderung bertindak kekerasan, pemaksaan kehendak, dan pemerkosaan nilai nilai kemanusiaan. Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini merupakan ekspresi dari keadaan diatas. Masalah ini sebenarnya bukan maslah baru, masalah tersebut tumbuh dari keadaan yang biasa, seperti masalah masalah politik, hokum, social, budaya, ekonomi, morak dan kepercayaan dan lain lain.
Asumsi asumsi yang melandasi program program pendidikan seringkali tidak sejalan dengan hakekat belajar, hakakat orang yang belajar, hakekat orang yang mengajar. Dunia pendidikan , lebih khusus lagi dunia belajar, didekati dengan paradigma yang tidak mampu menggambarkan hakekat belajar dan pembelajaran secara komprehensip. Praktik praktik pendidikan dan pembelajaran sangat diwarnai oleh landasan teoretik dan konseptual yang tidak akurat.
Peserta didik adalah manusia yang identitas insaninya sebagai subjek berkesadarn  perlu dibela dan ditegakkan lewat system dan model pendidikan yang bersifat bebas dan egaliter. Hal itu hanya dapat dicapai lewat proses pendidikan  bebas dan metode pembelajaran  aksi dialogal. Karena itu, peserta didik harus diperlakukan dengan amat hati hati. Teori kognitif/ konstruktivistik menekankan bahwa belajar lebih banyak ditentukan karena adanya karsa individu. Penataan kondisi bukan sebagai penyebab terjadinya belajar, tetapi sekedar memudahkan belajar. Keaktifan siswa menjadi unsur amat penting dalam menentukan kesuksesan belajar. Aktivitas mandiri adalah jaminan untuk mencapai hasil yang sejati.
   Dari uraian diatas , maka para pendidik (guru) dan para perancang pendidikan serta pengembang program pembelajaran perlu menyadari pentingnya pemahaman terhadap hakikat belajar dan pembelajaran. Berbagai teori belajar dan pembelajaran  seperti teori behavioristik, kognitif, kontruktivistik, humanistic, sibernetik, revolusi sosiokultural, dan kecerdasan ganda, penting untuk dimengerti dan diterapkan sesuai dengan kondisi dan konteks pembelajaran yang dihadapi. Masing masing teori memiliki kelemahan dan kelebihan. Pendidik/ pengajar yang profesioanl akan dapat memilih teori mana yang tepat untuk tujuan tertentu, karakteristik materi pelajaran tertentu, dengan ciri ciri siswa yang dihadapi, dan dengan kondisi lingkungan serta sarana dan prasarana yang tersedia.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud dengan teori belajar?
2.      Bagaimanakah penerapan teori belajar dalam pembelajaran?

Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:
1.   Untuk menjelaskan macam macam teori teori belajar.
2. Membantu tenaga pengajar/ guru menemukan teori sekaligus       mengaplikasikannya dalam pembelajaran.

3.  Memberikan tambahan pengetahuan atau referensi kepada guru dan                 pemerhati pendidikan tentang belajar dan pembelajaran.







PEMBAHASAN

A.    Teori Deskriptif dan Teori Preskriptif
            Bruner (dalam Degeng,1998) mengemukakan bahwa teori pembelajaran adalah preskriptif dan teori belajar adalah deskriptif. Dikatakan preskriptif karena tujuan utama teori pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran yang optimal, sedangkan deskriptif karena tujuan utama teori belajar adalah menjelaskan proses belajar.
            Teori belajar menaruh perhatian pada hubungan di antara variable variable yang menentukan hasil belajar, atau bagaimana seseorang belajar. Teori pembelajaran menaruh perhatian pada bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi hal belajar, atau upaya mengontrol variabel variabel yang dispesifikasi dalam teori belajar agar dapat memudahkan belajar.
            Teori pembelajaran yang deskriptif  menempatkan variable kondisi dan metode pembelajaran sebagai given , dan memberikan hasil pembelajaran sebagai variable yang diamati. Atau, kondisi  dan metode pembelajaran sebagai variabel bebas dan hasil pembelajaran sebagai variabel tergantung. Sedangkan teori pembelajaran yang preskriptif, kondisi dan hasil pembelajaran ditempatkan sebagai given, dan metode  yang optimal ditempatkan sebagai variabel yang diamati, atau metode pembelajaran sebagai variabel tergantung.
            Teori Preskriptif adalah goal oriented (untuk mencapai tujuan), sedangkan teori deskriptif adalah goal free (untuk memberikan hasil). Variabel yang diamati dalam pengembangan teori teori pembelajaran yang preskriptif adalah metode yang optimal untuk mencapai tujuan, sedangkan dalam pengembangan teori teori pembelajaran deskriptif variabel adalah hasil sebagai efek dari interaksi antara metode dan kondisi.
            Hasil pembelajaran yang diamati dalam pengembangan teori preskriptif adalah hasil penbelajaran yang diinginkan (desired outcomes) yang telah ditetapkan lebih dulu, sedangkan dalam pengembangan teori deskriptif, yang diamati adalah pembelajaran yang nyata (actual outcomes) dalam pengertian probabilistik, hasil pembelajaran yang mungkin muncul, dan bias jadi bukan merupakan hasil pembelajaran yang diinginkan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa teori pembelajaran preskriptif berisi seperangkat preskripsi guna mengoptimalkan hasil pembelajaran yang diinginkan dibawah kondisi tertentu, sedangkan teori pembelajaran deskriptif berisi deskripsi mengenai hasil pembelajaran yang muncul sebagai akibat dari digunakannya metode tertentu di bawah kondisi tertentu.
    
B.     Teori Belajar Behavioristik
Teori Behavioristik memandang bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun sudah berusaha giat, dan gurunya sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekannya, maka ia belum dianggap belajar karena ia belum menunjukkan perubahan perilaku belajar sebagai hasil belajar.
Pandangan Behavioristik mengakui pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Sedangakan apa yang terjadi di antara stimulus dan respons dianggap tidak penting diperhatikan sebab tidak bias diamati  dan diukur. Yang bias diamati dan diukur hanyalah stimulus dan respons.
Penguatan (reinforcement) adalah factor penting dalam belajar. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respons akan semakin kuat. Demikian juga jika penguatan dikurangi (negative reinforcement) maka respons juga akan menguat. Tokoh tokoh behavioristik antara lain Thorndike, Watson, Skinner, Hull, dan Guthrie. Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktifitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian bagian ke keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban yang benar. Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugasnya.

C.    Teori Belajar Kognitif
Belajar menurut teori kognitif adalah perubahan persepsidan pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan diukur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap yang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang.
Di antara para pakar teori kognitif , paling tidak ada tiga yang terkenal  yaitu Piaget, Bruner, dan Ausubel. Menurut Piaget, kegiatan belajar terjadi sesuai dengan pola tahap tahap perkembangan tertentu dan umur seseorang, serta melalui proses asimilasi, akomodasi dan equilibrasi. Sedangkan Bruner mengatakan bahwa belajar terjadi lebih ditentukan oleh cara seseorang mengatur pesan atau informasi, dan bukan ditentukan oleh umur. Proses belajar akan terjadi melalui tahap tahap enaktif, ikonik, dan simbolik. Sementara itu Ausubel mengatakan bahwa proses belajar terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan pengatahuan baru. Proses belajar akan terjadi melalui tahap tahap memperhatikan stimulus, memahami makna stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
Dalam kegiatan pembelajaran, keterlibatan siswa secara aktif amat dipentingkan. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks. Perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena factor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.

D.    Teori Belajar Konstruktivistik
Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar adalah sepenuhnya ada pada siswa.
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah  dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran dan cara pandang siswa dalam belaiar. Guru tidak dapat mengklaim satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi;
  1. Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
  2. Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
  3. Menyediakan sistern dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan pemikiran secara rasional.
    Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar antara pandangan behavioristik (tradisional) yang obyektifis dan konstruktivistik. Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain banyak mengacu pada obyektifis, sedangkan Piagetian dan tugas tugas belajar discovery lebih mengarah pada konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya realibilitas pengetahuan, bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh proses proses eksternal dari struktur dunia nyata tersebut, sehingga belajar merupakan asimilasi objek objek nyata. Tujuan para perancang dan guru guru tradisional adalah menginterpretasikan kejadian kejadian nyata yang akan diberikan pada siswanya.

Karakteristik pembelajaran yang dilakukannya adalah:
1.     membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta fakta lepas yang sudah ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas.
2.   menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide ide tersebut, serta membuat kesimpulan kesimpulan.
3.     guru bersama sama siswa mengkaji pesan pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, dimana terdapat bermacam macam pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi.
4.    guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah dikelola.
 Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikan berdasarkan pengalamannya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrument penting dalam menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan terhadap dunia nyata, dimana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasikan informasi kedalam pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhann, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman refrensentasi fungsi konseptual dunia eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi secara individual, bagaimana mengevaluasinya?
Evaluasi belajar pandangan behavioristik tradisional lebih diarahkan pada tujuan belajar. sedangkan  pandangan konstruktivistik menggunakan goal free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar siswa.

E.     Teori Belajar Humanistik
Dalam teori, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentinga memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistic sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistic sangat mementingkan isi yang dipelajari daripada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori teori belajar lainnya.
Menurut teori humanistic, proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah berhasil memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri  secara optimal. Teori ini dapat memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya tercapai.
Beberapa tokoh penganut aliran humanistic di antaranya adalah:
1. Kolb dengan konsepnya tentang empat tahap dalam belajar, yaitu: pengalaman konkret, pengalaman aktif dan reflektif, konseptualisasi, dan eksperimentasi aktif.
2. Honey dan Mumford, menggolongkan siswa menjadi 4; yaitu aktifis, reflector, teoris, dan pragmatis.
3. Hubermas, membedakan tiga macam atau tipe belajar yaitu; belajar teknis, belajar praktis, dan belajar emansipatoris.
4. Bloom dan Krathwohl, dengan tiga kawasan tujuan belajar yaitu; kognitif, psikomotor, dan afektif.
5. Ausubel, walaupun termasik juga kedalam aliran kognitivisme, ia terkenal dengan konsepnya belajar bermakna (Meaningful learning)
Aplikasi teori humanistic dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong siswa untuk berfikir induktif. Teori ini juga amat mementingkan factor pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.  

F.     Teori Belajar Sibernetik
Teori belajar sibernetik merupakan teori belajar yang relatif baru dibandingkan dengan teori teori belajar lainnya. Teori ini berkembang  sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Teori ini lebih mementingkan system informasi dari pesan atau materi yang dipelajari. Bagaimana proses belajar berlangsung sangat ditentukan oleh system informasi informasi tersebut. Oleh sebab itu, teori sibernetik berasumsi bahwa tidak ada satu jenis pun  cara belajar yang ideal untuk segala situasi.
     Teori ini  telah dikembangkan oleh para penganutnya, antara lain seperti pendekatan pendekatan yang berorientasi pada pemrosesan informasi yang dikembangkan oleh Gage dan Barliener, Biehler dan Snowman, Baine, serta Tennyson. Teori sibernetik sebagai teori belajar seringkali dikritik karena lebih menekankan pada system informasi yang akan dipelajari, sementara itu bagaiman proses belajar berlangsung dalam diri individu sangat ditentukan oleh system informasi yang dipelajari. Teori ini memandang manusia sebagai pengolah informasi, pemikir dan pencipta. Berdasarkan pandangan tersebut maka diasumsikan bahwa manusia merupakan mahluk yang mampu mengolah, menyimpan, dan mengorganisasikan informasi.
         Asumsi diatas direfleksikan kedalam suatu model belajar dan pembelajaran. Model tersebut menggambarkan proses mental  dalam belajar yang secara terstruktur membentuk suatu system kegiatan mental. Dari model ini dikembangkan prinsip prinsip belajar seperti:
a. proses mental dalam belajar terfokus pada pengetahuan yang bermakna
b. proses mental tersebut mampu menyandi informasi secara bermakna
c. proses mental bermuara pada pengorganisasian dan pengaktualisasian informasi.
     Konsepsi Landa dengan model pendekatannya yang disebut algoritmik dan heuristic mengatakan bahwa belajar algoritmik menuntut siswa berpikir sistematis, tahap demi tahap, linier, menuju pada target tujuan tertentu, sedangkan belajar heuristic menuntut siswa untuk berpikir divergen, menyebar ke beberapa target tujuan sekaligus.

G.    Teori Belajar Revolusi Sosiokultural
Timbul keprihatinan terhadap perubahan kehidupan masyarakat dewasa ini dengan maraknya berbagai problem social seperti ancaman disintegrasi yang disebabkan oleh fanatisme dan primordialisme, dan di lain pihak adanya tuntutan pluralisme. Perubahan struktur dan lunturnya nilai nilai kekeluargaan, serta merebaknya kejahatan yang disebabkan oleh lemahnya social capital (modal social) memdorong mereka yang bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk mengkaji ulang paradigma pendidikan dan pembelajaran yang menjadi acuan selama ini. Tentu saja pendidikan bukan satu satunya lembaga yang ahrus bertanggung jawab untuk mengatasi semua masalah tersebut. Namun pendidikan mempunyai kontribusi besar dalam upaya mengatasi berbagai persoalan social.
                        Aliran behavioristik yang banyak digunakan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran selama ini kurang dapat menjawab masalah masalah social. Pendekatan ini banyak dianut dalam praktek praktek pendidikan dan pembelajaran mulai dari tingkat yang paling dini hingga pendidikan tinggi, namun ternyata tidak mampu menjawab masalah masalah dan tuntutan kehidupan global. Hasil pendidikan tidak mampu menumbuhkembangkan anak anak untuk lebih menghargai perbedaan dalam konteks social budaya yang beragam. Mereka kurang mampu berpikir kreatif, kritis dan produktif, tidak mengambil keputusan, memecahkan masalah, berkolaborasi, serta pengelolaan diri.
                  Pandangan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget yang kemudian berkembang kedalam aliran konstruktivistik juga masih dirasakan kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kontraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih mencerminkan ideology individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan dengan budaya barat. Pendekatan ini kurang sesuai dengan tuntutan revolusi sosiokultural yang berkembang akhir akhir ini.
                        Pandangan yang dianggap lebih mampu mengakomodasi tuntutan sociocultural-revolution adalah teori belajar yang dikembangkan oleh Vygotsky. Dikemukakan bahwa peningkatan fungsi fungsi mental seseorang terutama berasal dari kehidupan sosial dan kelompoknya, dan bukan sekadar dari individu itu sendiri. Teori Vygotsky lebih tepat disebut sebagai pendekatan ko-konstruktivisme.
                  Konsep konsep penting dalam teorinya yaitu genetic low of development, zona of proximal development, dan mediasi, ampu membuktikan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar social budaya dan sejarahnya. Perolehan pengetahun dan perkembangan kognitif seseorang seturut dengan teori sociogenesis. Dimensi kesadaran social bersifat primer sedangkan dimensi invidual bersifat sekunder.
                        Berdasarkan teori Vygotsky maka dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perekembangan proximalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang. Guru perlu menyediakan berbagai jenis dan tingkatan bantuan. Yang dapat memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Bantuan dapat dalam bentuk contoh, pedoman, bimbingan orang lain atau teman yang lebih kompeten. Bentuk bentuk pembelajaran seperti kooperatif-kolaboratif serta belajar kontekstual sangat tepat digunakan.sedangkan anak yang  telah ampu belajar  sendiri perlu ditingkatkan tuntutannya, sehingga tidak perlu menunggu anak yang berada dibawahnya. Dengan demikian diperlukan pemahaman yang tepat tentang karakteristik siswa dan budayanya sebagai pijakan dalam pembelajaran.

H.    Teori Kecerdasan Ganda  
Howard Gardner  memperkenalkan sekaligus mempromosikan hasil penelitian Project Zero di Amerika yang berkaitan dengan kecerdasan ganda  (multiple intelegence). Teorinya menghilangkan anggapan yang ada selama ini tentang kecerdasan manusia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada satuan kegiatan manusia yang hanya menggunakan satu macam kecerdasan, melainkan seluruh kecerdasan yang selama ini dianggap ada tujuh macam kecerdasan, dan pada buku yang mutakhir ditambahkan lagi tiga macam kecerdasan. Semua kecerdasn ini bekerja sama sebagai satu kesatuan yang utuh dan padu. Komposisi keterpaduannya tentu saja berbeda beda pada masing masing orang dan masing masing budaya. Namun secara keseluruhan semua kecerdasan tersebut dapat diubah dan ditingkatkan. Kecerdasan yang paling menonjol akan mengontrol kecerdasan kecerdasan lainnya dalam memecahkan masalah.
                        Berdasarkan teori Gardner, David G.Lazear memverikan petunjuk untuk mengubah dan meningkatkan kecerdasan kecerdasan tersebut lengkap dengan instrumentasinya dalam pembelajaran. Ia mengembangkan proses pembelajaran dikelas yang   memanfaatkan dan mengembangkan kecerdasan ganda anak, dengan harapan dapat digunakan diluar kelas dalam mengenali dan memahami realitas kehidupan.
            Pokok pokok pikiran yang dikemukakan Gardner adalah:
  1. manusia mempunyai kemampuan meningkatkan dan memperkuat kecerdasannya,
  2. kecerdasan selain dapat berubah dapat pula dijarkan kepada orang lain,
  3. kecerdasan merupakan realitas majemukyang muncul dibagian bagian yang berbeda pada sitem otak atau pikiran manusia,
  4. pada tingkat tertentu, kecerdasan ini merupakan suatu kesatuan yang utuh.  Artinya, dalam memecahkan masalah atau tugas tertentu, seluruh macam kecerdasan manusia bekerja bersama sama, kompak dan terpadu. Kecerdasan yang terkuat cenderung “memimpin”/”melatih” kecerdasan lainnya yang lebih lemah.
Kecerdasan adalah suatu kemampuan untuk memecahkan masalah atau menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan di dalam latar budaya tertentu. Rentang masalah atau sesuatu yang dihasilkan  mulai dari yang sederhana smpai yang kompleks. Dikatakan mulai dari upaya mengakhiri cerita, menentukan langkah langkah permainan catur, menambal selimut yang sobek, sampai menghasilkan teori teori, komposisi musik dan politik. Sesorang dikatakan cerdas bila ia dapat memecahkan masalah yang dihadapinya dan mampu menghasilkan sesuatu yang berguna bagi umat manusia.
                  Peneltian Gardner mengidentifikasi ada 8 macam kecerdasan manusia dalam memahami dunai nyata, kemudian diiukuti oleh tokoh tokoh lain dengan menambahkan dua kecerdasan lagi, sehingga menjadi 10 macam kecerdasan. Berikut akan dijelaskan secara singkat kesepuluh kecerdasan tersebut.
  1. kecerdasan verbal/bahasa (verbal linguistic intelegence)
Kecerdasan ini bertanggungjawab terhadap semua hal tentang bahasa. Puisi, humor, tata bahasa, berpikir simbolik adalah ekspresi dari kecerdasan ini. Kecerdasan ini dapat diperkuat dengan kegiatan kegiatab berbahasa baik lisan maupun tertulis.
  1. kecerdasan logika /matemati (logical/mathematical intelegence)
Kecerdasan ini sering disebut berpikir ilmiah, termasuk berpikir deduktif dan induktif. Kecerdasan ini diaktifkan bila seseorang menghadapi masalah atau tantangan baru dan berusaha menyelesaikannya.
  1. kecerdasan visual/ ruang (visual/spatial intelegence)
Kecerdasan visual berkaitan dengan misalnya senirupa, navigasi, arsitektur. Kuncinya adalah kemampuan indera pandang dan berimanjinasi. Cerita khayal pada masa kecil seperti menkhayal, mimpi terbang, mempunyai kekuatan ajaib, sebagai pahlawan , sangat erat  dengan perekembangan kecerdasan ini.
  1. kecerdasan tubuh/gerak tubuh (body/kinesthetic intelegence)
Kecerdasan tubuh mengendalikan kegiatan tubuh untuk menyatakan perasaan. Tubuh manusia mengetahui benar hal hal yang tidak diketahui pikiran. Gerakan tubuh dapat memahami dan berkomunikasi, dan tidak jarang menyentuh sisi jiwa manusia yang paling dalam.
  1. kecerdasan musical/ritmik (musical/ rhythmic intelegence)
kecerdasan ritmik melibatkan kemampuan manusia untuk mengenali dan menggunakan ritme  dan nada, serta kepekaan  terhadap bunyi bunyian dilingkungan sekitar manusia. Perubahan kesadaran manusia banyak disebabkan oleh musik dan ritme.
  1. kecerdasan interpersonal (interpersonal intelegence)
kecerdasan interpersonal berhubungan dengan kemampuan bekerja sama dan berkomunikasi baik verbal maupun nonverbal dengan orang lain. Mampu mengenali perbedaan perasaan , tempramen, maupun motivasi orang lain.
  1. kecerdasan intrapersonal (intra personal intelegence)
kecerdasan intrapersonal mengendalikan pemahaman terhadap aspek internal diri seperti, perasaan, proses berpikir, refleski diri, intuisi, dan spiritual
  1. kecerdasan naturalis (naturalistic intelegence)
kecerdasan naturalis banyak dimiliki oleh para pakar lingkungan. Seorang penduduk di aderah pedalaman dapat melihat tanda tanda akan terjadi perubahan lingkungan misalnya dengan melihat gejala gejala alam.
  1. kecerdasan spiritual (spiritualist intelegence)
kecerdasan spiritual banyak dimiliki oleh para rohaniawan. Kecerdasan ini berkaitan dengan bagaimana manusia berhuibungan dengan Sang Pencipta.
  1. kecerdasan eksistensial (eksistensialist intelegence)
Kecerdasan eksistensial banyak dijumpai pada para filusuf. Mereka mampu menyadari dan menghayati dengan benar keberadaan dirinya di dunia dan apa tujuan hidupnya.
Pada dasarnya semua orang memiliki di atas, namun tentu saja tidak semuanya berkembang atau dikembangkan pada tingkatan yang sama, sehingga tidak dapat digunakan secara efektif. Pada umumnya satu kecerdasan lebih menonjol/ kuat daripada yang lain. Tetapi tidak berarti bahwa hal itu bersifat permanent atau tetap. Di dalam diri manusia tersedia kemampuan untuk mengaktifkan semua kecerdasan tersebut. Teori Gardner memang masih memerlukan penelitan lebih lanju khususnya strategi pengukuran untuk masing masing jenis kecerdasan, serta apakah macam macam kecerdasan yang ada adalah sejumlah yang telah diuraikan di atas atau masih bias bertambah lagi.
                        Para pakar kecerdasan sebelum Gardner cenderung memberikan tekanan terhadap kecerdasan hanya sebatas pada aspek kognitif, sehingga manusia telah tereduksi menjadi sekedar komponen kognitif, namun suatu keseluruhan. Melalui teori kecerdasan ganda  (multiple intelegence) ia berusaha menghindari adanya penghakiman terhadap manusia dari sudut pandang kecerdasan. Tidak ada manusia yang sangat cerdas untuk seluruh aspek yang ada pada dirinya . Yang ada adalah ada manusia yang memiliki kecerdasan tinggi pada salah satu kecerdasan yang dimilikinya. Mungkin seseorang  memiliki kecerdasan tinggi untuk kecerdasan logika-matematika tetapi tidak untuk kecerdasan musik atau kecerdasan lainnya.
      Strategi pembelajaran kecerdasan ganda bertujuan agar semua potensi anak dapat berkembang. Strategi pembelajarannya dimulai dengan:
  1. membangunkan/memicu kecerdasan
  2. memperkuat kecerdasan
  3. mengajarkan dengan/untuk kecerdasan
  4. mentransfer kecerdasan
Sedangkan kegiatan kegiatnnya dapat dilakukan dengan menyediakan hari hari karir, studi tour, biografi, pembelajaran terprogram,eksperimen, majalah dinding, papan display, membaca buku buku untuk mengembangkan kecerdasan ganda, membuat table perkembangan kecerdasan ganda , atau human intelegence.





PENUTUP

Masing masing teori belajar yang telah dibahas memiliki keunggulan disamping kekurangannya. Diharapkan dalam upaya menerapkan teori teori tersebut dalam praktek praktek pembelajaran, pembaca dapat dengan bijaksana memadukan (elektik) atau memilih teori yang paling sesuai dengan tujuan dan materi belajar, karakteristik peserta belajar yang dihadapi, serta konteks dimana kegiatan belajar berlangsung. Disamping itu, konsep pendidikan yang membebaskan dan kritis perlu dijadikan acuan.
Pandangan tentang konsep pendidikan yang membebaskan dan kritis ini akan tampak pada pergeseran pendidikan dari pendidikan yang lebih menekankan pada aspek kognitif menuju kepada seluruh aspek potensi manusia secara utuh. Pembelajaran lebih menekankan aktivitas siswa daripada aktivitas guru. Pengolahan pendidikan tidak lagi sentralistik dan monologis, melainkan ke arah desentralisasi, otonomi, demokrasi, serta dialogis. Pendidikan lebih kontekstual tidak terasing dari masyarakat, melainkan peka dan kritis terhadap persoalan dimasyarakat. Kurikulum dikembangkan dari konsep konsep dasar atau inti, berwawasan global dan sesuai kebutuhan local. Pembentukan kelompok atau ikatan ikatan yang bersifat homogen atau eksklusif, menuju kepada kelompok kelompok yang bersifat heterogen yang menganut pluralisme atau kemajemukan di bidang nilai dan budaya agar peserta didik menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang semakin manusiawi, yang semakin diresapi oleh kebenaran, kedamaian, cita inklusif, dan keadilan.


DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta.
                      PT. Rineka Cipta.

Degeng, N.S. 1998. Ilmu Pengajaran: Taksonomi Variabel. Jakarta. Depdikbud,
             Dirjen PT, P2LPTK.

Muhibbin Syah. 2004. Psikoogi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung.
                 PT. Remaja Rosdakarya

Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Yogyakarta. PT. Rineka Cipta.





0 Response to "TEORI BELAJAR"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel