RELASI MAKNA

        
Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantic antara sebuah kataatausatuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Hubungan atau relasikemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim). Kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (redundasi), dan sebagainya.,
A.     Sinonim
Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu anomayangberarti “nama”, dan syn yang berarti “dengan”. Maka secara harfiah kata sinonimi “nama lain untuk benda atau hal yang sama”. Secara semantic Verhaar (1978) an je mendifinisikan sebgai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.
Contoh :
              Buruk dan jelek
              Bunga ,kembang dan puspa.
              Mati, wafat, meninggal dan mampus
        Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Jadi, kalau kata bunga bersinonim dengan kata kembang, maka kata kembang juga bersinonim dengan kata bunga. Begitu juga kalau kata buruk bersinonim dengan kata sjelek, maka jelek bersinonim dengan kata buruk. Kalau dibagankan adalah sebagai berikut.





       Pada defenisi di atas dikatakan “maknanya kurang lebih sama”. Ini berarti, dua buah kata yang bersinonim itu, kesamaanya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja. Kesamaannya bersifat mutlak (Zgusta 1971:89, Ulman 1972:141).Prinsip umum semantic yang mengatakan apabila bentuk berbeda , walapun perbedaannya hanya sedikit. Demikian juga kata-kata bersinonim ; karena bentunya berbeda maka maknanya tidak persis sama. Jadi, makna kata buruk dan jelek tidak pesis sama; makna kata bunga, kembang, dan puspa pun tidak persis sama. Andaikata kata mati dan meninggal itu maknanya persis sama, tentu kita dapat mengganti kata mati dalam Tikus itu mati diterkam kucing.dengan meninggal Tetapi ternyata penggantian tidak dapat dilakukan. Ini bukti yang jelas bahwa kata-kata yang bersinonim itu tidak memiliki makna yang pesis sam.
       Secara matematis kalau kata ban sama maknanya dengan kata roda; dan kata ban juga sama maknanya dengan kata ikat pinggang; maka  berarti kata roda sama maknanya dengan kata ikat pinggang. Ternyata kata roda srdikit pun tidak ada persamaan dengan kata ikat pinggang. Perhatikan!
       ban   =   roda
       ban   =   ikat pinggang
      Jadi, *roda   =   ikat pinggang
Tetapi ternyata roda tidak sama dengan ikat pinggang. Padahal dalam matematika.
       a   =   b
       a   =   c
maka sudah pasti b=c. Ternyata dalam semantic kaidah itu tidak berlaku. Kalau ditanya mengapa? Karena kesamaan makna antara ban dan roda tidak mutlak 100%;dan kesamaan antara ban dan ikat pinggang juga tidak mutlak 100%.Oleh karena itu bisa saja terjadi antara roda  dan ikatpinggang tidak ada kesamaan sedikit pun. Dengan kata lain, kesamaan makna memang menyentuh ban dan roda, dan ban dan ikat pinggang;btetapi ban dan roda tidak ada sentuhan sedikit pun.



            A  =  ban                          AB  =  bagian makna yang sama antara ban dan roda
            B  =  roda                          AC  =  bagian makna  yang sama antaraban dan ikat
             C  =  ikat pinggang                      pinggang
Jadi, kalau ban (A) bersinonim dengan roda (B), memang bisa diterima karena bagian atau unsure maknanya yang sama yaitu pada bagian AB;juga kalau ban (A) bersinonim dengan ikat pinggang (C) juga bisa diterima karena ada bagian atau unsurnya yang sama yaitu pada bagian AC. Tetapi ban (A) jelas tidak bersinonim dengan ikat pinggang (C) karena antara keduanya tidak ada bagian atau unsure makna yang sama.
       Kalau dua buah kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang persis sama, maka timbul pertanyaan: Yang sama apanya? Menurut teori Verhaar yang sama tentu adalah imformasinya; padahal informasinya ini bukan makna karena imformasinya bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat intralingual. Atau kalau kita mengikuti toeri analisis komponen yang samaadalah bagian atau unsure tertentu saja dari makna yang sama
       Kesinonimanmutlak atau kesinoniman simertis memang tidak ada dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, kata-kata yang dapat dipertukarkan begitu saja pun jarang ada. Pada suatu tempat kita mungkin dapat menukar kata mati dan meninggal; tetapi di tempat lain tidak dapat. Begitu pula kata bunga dan kembang; di satu tempat kita dapat mempertukarkannnya, tetapi di tempat lain tidak.
       Ketidakmungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lainyang bersinonim adalah banyak sebabnya. Antara lain, karena:
(1)  Faktor waktu. Misalnya kata hulubalang besinonim dengan katakomandan. Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkankarena kata hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno, klasik, atau arkais. Sedangkan kata komandan hanya cocok untuk situasi masa kini (modern).
(2)  Faktor tempat atau daerah. Misalnya kata saya dan beta adalah bersinonim. Tetapi kata beta hanya cocok untuk digunakan dalam konteks pemakaian bahasa Indonesia timur (Maluku); sedangkan kata saya dapat digunakan secara umum di mana saja.
(3)  Faktor social. Misalnya kata aku dan saya adalah dua buah kata yang bersinonim; tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya dan tidak dapat digunakan kepada orang yang lebih tua atau status sosilanya lebih tinggi.
(4)  Faktor bidang kegiatan. Misalnya kata tasawuf, kebatinan, dan mistik adalah tiga buah kata bersinonim. Namun, kata tasawuf hanya lazim dalam agama Islam; kata kebatinan untuk yang bukan Islam; dan kata mistik untuk semua agama. Contoh lain kata matahari bersinonim dengan kata surya; tetapi kata surya hanya cocok atau hanya lazim digunakan dalam sastra, sedangkan kata matahari dapat digunakan secara umum.
(5)  Faktor nuansa makna. Misalnya kata-kata meliha, melirik, melotot, meninkau, dan mengintip adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat memang bisa digunakan secara umum ; tetapi kata melirik hanya digunakan untuk menyatakan melihat sudut nata ; kata melotot  hanya digunakan untuk melihay dengan mata terbuka lebar ; kata meninjau hanya digunakan untuk melihat dari tempat jauh atau tempat tinggi ; dan kata mengintip hanya cocok digunakan untuk melihat dari celah yang sempit.
       Di dalam beberapa buku pelajaran ba,hasa sering dikatakan bahwa sinonim adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas kurang tepat sebab selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonim pun bukan hanya kata dengan kata, tetapi juga banyak terjadi antara satuan-satuan bahasa lainnya.
Contoh:
(a)  Sinonim antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), seperti antara dia dengan nya antara saya dengan ku  dalam kalimat
(1)  Minta bantuan dia
Minta bantuannya
(2)  Bukan teman saya
Bukan temanku
(b)  Sinonim anatar kata dengan kata seperti antara mati dengan meninggal ; anatara buruk dengan jelek ; anatar bunga dengan puspa.
(c)  Sinonim anatar kata dengan frase atau sebaliknya.Misalnya anatar meninggal , dengan tutup usia ; anata hamil dan duduk perut ; antara pencuri dengan tamu yang tidak diundang;; antara tidak boleh tidak dengan harus.
(d)  Sinonim antara frase dengan frase.Misalnya antara ayah ibu dengan orang tua ; antara meninggal dengan berpulang ke rahmatullah; dan anatara mobil baru dengan mobil yang baru.
(e)  Sinonim antara kalimat dengan kalimat .Seperti adik menendang bola dengan bola ditendang adik. Kedua kalimat ini dianggap bersinonim, meskipun yang pertama kalimat aktif dan yang dua kalimat pasif.
          Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai sinonim. Pertama, tidaksemua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim. Misalnya kata beras, salju, batu, dan kuning tidak memiliki sinonim. Kedua, ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Misalnya kata benar bersinonim dengan kata betul ; tetapi kata kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan. Ketiga, ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian. Misalnya kata jemur tidak empunyai sinonim tetapi kata menjemur ada sinonimnnya, yaitu mengeringkan ;dan berjemur bersinonim dengan berpanas.

B. Antonim dan Oposisi
         Kata antonym berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onama yang artinya “nama”, dan anti yang artinya “melawan”. Maka, secara harfiah antonym berate “nama lain untuk benda lain pula”. Secara semantic, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai; Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya dengan kata bagus adalah berantonimi dengan kata buruk; kata besar adalah berantonim dengan kata kecil; dan kata membeli berantonim dengan kata menjual.
       Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bagus.bersifat dua arah. Jadi, kalau bagus berantonim dengan kata buruk , maka kata buruk juga berantonim dengan kata bagus; dan kalau kata membeli berantonim dengan kata menjual,maka menjual berantonim dengan kata membeli. Kalau dibagankan adalah sebagai berikut:









        Sama halnya dengan sinonim, antonym pun terdapat pada semua tataran bahasa; tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat. Hanya mencari contohnya dalam setiap bahasa tidak mudah. Dalam bahasa Indonesia untuk tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada. Dalam bahasa Inggris kita jumpai contoh thankful dengan thankless, di mana ful dan less berantonim; antara progresif dengan regresif, di mana pro dan re- berantonim; juga antara bilingual dengan monolingual, di mana bi dan mono berantonim.
        Dalam buku-baku  pelajaran bahasa Indonesia, antonym biasanya disebut lawan kata. Banyak orang yang tidak setuju dengan istilah ini sebab pada hakekatnya yang berlawanan bukan kata-kata itu, melainkan makna dari kata-kata itu. Maka, mereka tidak setuju dengan istilah lawan kata lalu menggunakan istilah lawan makna. Namun, benarkah dua buah kata yang berantonim, maknanya benar-benar berlawanan? Benarkah hidup lawan mati? Putih lawan hitam?Sesuatu yang hidup memang belum atau tidak mati, dan sesuatu yang mati memang sudah tidak hidup. Jadi, memang berlawanan. Apakah juga yang putih berarti tidak hitam? Belum tentu, mungkin kelabu. Menurut ilmu fisika  putih adalah warna campuran dari segala warna, sedangkan hitam memang tidak ada warna.sama sekali.
      Dari uarain di atas d.lihat bahwa antonym pun, sama halnya dengan sinonim, tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya  Verhaar menyatakan”…yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain”. Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan.
       Sehubungan dengan ini banyak rpula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepadayang hanya bersifat kontras saja. Kata hidup dan mati, seperti sudah dibicarakan di atas,mungkin bisa menjadi contoh yang berlawanan; tetapi hitam dan putih mungkin merupakan contoh yang berkontras.





        
Lebih jauh, berdasarkan sifatnya, oposisi ini dapat dibedakan menjadi:
5.2.1        Oposisi Mutlak
Di sini terdapat pertentangan makna secara mutlak. Umpamanya antara kata hidup dan mati. Antara hidup dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab sesuatu yang hidup tentu tidak (belum) mati; sedangkan sesuatu yang mati tentu sudah tidak hidup lagi. Memang menurut kedokteran ada keadaan yang disebut “koma”, yaitu keadaan seseorang yang hidup tidak, tetapi mati pun belum. Namun, orang yang berada dalam keadaan “koma” itu sudah tidak dapat berbuat apa-apa seperti manusia hidup. Yang tersisa sebagai bukti hidup hanyalah detak jantungnya saja.
Contoh lain dari oposisi mutlak ini adalah kata gerak dan diam. Sesuatu yang (ber)gerak tentu tiada dalam keadaan diam; dan sesuatu yang diam tentu tidak dalam keadaan (ber)gerak. Kedua proses ini tidak dapat berlangsung bersamaan, tetapi secara bergantian.

5.2.2        Oposisi Kutub
Makna kata-kata yang termasuk oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata tersebut, misalnya, kata kaya dan miskin adalah dua buah kata yang beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya dan miskin tidak mutlak. Orang yang tidak kaya belum tentu merasa miskin, dan begitu juga orang yang tidak miskin belum tentu merasa kaya. Itulah sebabnya kata-kata yang beroposisi kutub ini sifatnya relatif, sukar ditentukan batasnya yang mutlak. Atau bisa juga dikatakan batasnya bias bergeser, tidak tetap pada suatu titik. Kalau didiagramkan keadaan tersebut menjadi sebagai berikut:





                                                kutub A
                                                            kaya

                                                                        batas

                                                            miskin
                                                kutub B


Makin ke atas makin kaya dan makin ke bawah makin miskin. Namun, batas kaya-miskin itu sendiri dapat bergeser ke atas dan ke bawah. Ketidakmutlakan makna dalam oposisi ini tampak juga dari adanya gradasi seperti agak kaya, cukup kaya, kaya, dan sangat kaya. Atau pun juga dari adanya tingkat perbandingan seperti kaya, lebih kaya, dan paling kaya. Namun yang paling kaya dalam suatu deret perbandingan mungkin menjadi yang paling miskin dalam deret perbandingan yang lain. Kita ambil contoh yang lain, yaitu besar-kecil. Dalam deret gajah, banteng, dan keledai, maka keledai menjadi yang paling kecil. Dalam deret gajah, kambing, dan keledai, kita lihat keledai bukan yang paling kecil; dan dalam deret kucing, kambing, dan keledai, dia menjadi yang paling besar. Sedangkan yang paling kecilnya adalah kucing. Jadi, jelas batasan dalam oposisi kutub ini relatif sekali.
Itulah sebabnya, barangkali, himbauan untuk hidup sederhana sukar dilaksanakan sebab batas antara sederhana dan tidak sederhana sangat relatif, sangat tergantung pada situasi, kondisi, dan sikap manusianya.
Kata-kata yang beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif, seperti jauh-dekat, panjang-pendek, tinggi-rendah, terang-gelap, dan luas-sempit.

5.2.3        Oposisi Hubungan
Makna kata-kata yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain yang menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Umpamanya, kata menjual beroposisi dengan kata membeli. Kata menjual dan membeli walaupun maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya berlaku serempak. Proses menjual dan proses membeli terjadi pada waktu bersamaan, sehingga bias dikatakan tak akan ada proses menjual jika tak ada proses membeli. Contoh lain, kata suami beroposisi dengan kata istri. Kedua kata ini hadir serempak: tak aka nada seseorang disebut sebagai suami jika dia tidak mempunyai istri. Begitu pula sebaliknya.
Kata-kata beroposisi hubungan ini bias berupa kata kerja, seperti mundur-maju, pulang-pergi, pasang-surut, member-menerima, belajar-mengajar, dan sebagainya. Selain itu, bisa juga berupa kata benda. Seperti ayah-ibu, guru-murid, dan sebagainya.

5.2.4        Oposisi Hierarkial
Makna kata-kata yang beroposisi hierarkial ini menyatakan suatu deret jenjang atau tingkatan. Oleh karena itu, kata-kata yang beroposisi hierarkial ini adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya. Umpamanya kata meter beroposisi hierarkial dengan kata kilometer karena berada dalam deretan nama satuan yang menyatakan ukuran panjang. Kata kuintal dan ton beroposisi secara hierarkial karena keduanya berada dalam satuan ukuran yang menyatakan berat.

5.2.5        Oposisi Majemuk
Selama ini yang dibicarakan adalah oposisi di antara dua buah kata, seperti mati-hidup, menjual-membeli, jauh-dekat, dan prajurit-opsir. Namun, dalam perbendaharaan kata Indonesia ada kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari sebuah kata. Misalnya kata berdiri bisa beroposisi dengan kata duduk, dengan kata berbaring, dengan kata berjongkok. Keadaan seperti ini lazim disebut dengan istilah oposisi majemuk. Jadi:

                                                            duduk
                                                            berbaring
berdiri              x                                  tiarap
                                                            berjongkok
Contoh lain, kata diam yang dapat beroposisi dengan kata berbicara, bergerak, dan bekerja.
            Satu hal lain yang perlu dicatat, tidak setiap kata bahasa Indonesia memiliki antonim atau oposisi. Apa antonimnya kata mobil, rumput, dan monyet? Bagaimana pula dengan kata mahasiswa dan mahasiswi? Berantonimkah? Yang jelas kata mahasiswa juga bermakna ‘mahasiswi’.

5.3.      Homonimi, Homofoni, Homograf
            Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno anoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai “nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (dalam Chaer, 2002:93) member definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase, atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Umpamanya antara kata pacar yang berarti ‘inai’ dengan pacar yang berarti ‘kekasih’; antara kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa berarti ‘sanggup, dapat’.
            Hubungan antara kata pacar dengan arti ‘inai’ dan kata pacar dengan arti ‘kekasih’ inilah yang disebut homonim. Jadi, kata pacar yang pertama berhomonim dengan kata pacar yang kedua. Begitu juga sebaliknya karena hubungan homonimi ini bersifat dua arah.
            Hubungan antara dua buah kata yang bersifat dua arah. Artinya, kalau kata bisa yang berarti ‘racun ular’ homonim dengan kata bisa yang berarti ‘sanggup’, maka kata bisa yang berarti ‘sanggup’ juga homonim dengan kata bisa yang berarti ‘racun ular’. Kalau kata bisa yang berarti ‘racun ular’ kita sebut bisa I dan kata bisa yang berarti ‘sanggup’ kita sebut bisa II, maka diagramnya menjadi sebagai berikut:
Bisa II
 
Bisa I
 
           




           

            Kalau ditanyakan, bagaimana bisa terjadi bentuk-bentuk yang homonimi ini? Ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonimi ini.
            Pertama, bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya, kata bisa yang berarti ‘racun ular’ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata bisa yang berarti ‘sanggup’ berasal dari bahasa Jawa.
            Kedua, bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologi. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat Ibu sedang mengukur kelapa di dapur adalah berhomonimi dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata kukur (me+kukur = mengukur); sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me+ukur = mengukur).
            Sama halnya dengan sinonimi dan antonimi, homonimi ini pun dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
            Homonimi antar morfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat yang lainnya. Misalnya, antara morfem –nya pada kalimat: “Ini buku saya, itu bukumu, dan yang di sana bukunya” berhomonimi dengan –nya pada kalimat “Mau belajar, tetapi bukunya belum ada.” Morfem –nya yang pertama adalah kata ganti orang ketiga sedangkan morfem –nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu.
            Homonimi antar kata, misalnya kata bisa seperti sudah disebutkan di muka. Homonimi antar frase, misalnya antara frase orang tua yang berarti ‘ayah ibu’ dan frase orang tua yang berarti ‘orang yang sudah tua’. Homonimi antar kalimat, misalnya, antara Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti ‘lurah yang baru diangkat itu menpunyai istri yang cantik’, dan kalimat Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti ‘lurah itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik’.
            Di samping homonimi ada pula istilah homofoni dan homografi. Ketiga istilah ini biasanya dibicarakan bersama karena ada kesamaan objek pembicaraan. Kalau istilah homonimi yang sudah kita bicarakan dilihat dari segi bentuk satuan bahasanya itu, maka homofoni dilihat dari segi “bunyi” (homo=sama, fon=bunyi). Sedangkan homografi dilihat drai segi “tulisan, ejaan” (homo=sama, grafi=tulisan).
            Homofoni sebenarnya sama saja dengan homonimi karena realisasi bentuk-bentuk bahasa adalah berupa bunyi. Jadi, kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti ‘sanggup, dapat’ selain merupakan bentuk yang homonimi adalah juga bentuk yang homofoni, dan juga homografi karena tulisannya juga sama. Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon tetapi ditulis dengan ejaan yang berbeda karena ingin memperjelas perbedaan makna. Misalnya kata bank dan bang, yang bunyinya persis sama, tetapi maknanya berbeda. Begitu pula dengan sejumlah kata yang tulisannya sama (jadi, homograf), sedangkan lafalnya atau bunyinya tidak sama (jadi, tidak homofon). Misalnya, kata teras.
            Ada beberapa buku pelajaran yang menyatakan bahwa homograf adalah juga homonim karena mereka berpandangan ada dua macam homonim, yaitu (a) homonim yang homofon, dan (b) homonim yang homograf.
Hiponimi dan Hipernimi
Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kono, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hipo berarti  ‘di bawah’. Jadi, secara hararfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’, secara semantic Verhar (1978 : 137) menyatakan hiponimi ialah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga berupa frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian  dari suatu ungkapan lain. Umpanya kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan sebab makna tongkol berada atau termasuk dalam makna kata ikan. Tongkolmemang ikan bukan hanya tongkol melainkan juga termasuk bandeng, tenggiri, teri, mujair, cakalang, dan sebagainya. Kalau diskemakan menjadi :
                                                                        Ikan



Tongkol          bandeng        tenggiri          teri       mujair             cakalangdua arah
Kalau relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan hiponim bersifat dua arah, maka relasi antara dua buah kata kata yang bersinonim ini adalah searah. Jadi kata tongkol berhiponim terhadap kata ikan; tetapi kata ikan tidak berhiponim terhadap kata tongkol, makna ikan meliputi seluruh jenis ikan. Dalam hal ini relasi antara ikan dengan tongkol (atau jenis ikan lainnya) disebut hipernimi. Jadi kalau tongkol berhiponimi terhadap kata ikan, maka ikan berhipermim terhadap tongkol.  Perharikan bagan berikut !
Hiponim
Tongkol                                                                                  ikan
                                                hipernim

Contoh lain, kata bemo dan kendaraan. Kalau bemo berhiponim terhadap kata  kendaraan, sebab bemo adalah salah satu jenis kendaraan. Sebaliknya  kata kendaraan berhipernim terhadap kata bemo sebab kata bemo di samping jenis kendaraan lain (seperti becak, sepeda, kereta api, dan bis).
Bagaimana hubungan antara tongkol, tenggeri, teri, dan mujair  yang sama-sama merupakan hiponim terhadap kata ikan? Biasanya disebut dengan istilah kohiponim. Jadi, tongkol berkohiponim dengan tenggiri, dengan bandeng, dan dengan yang lainnya.
Dalam definisi Verhaar di atas ada disebutkan bahwa hiponim kiranya terdapat pula dalam bentuk frase dan kalimat. Tetapi kirany sukar mencari contohnya dalam bahasa Indonesia karena juga hal ini lebih banyak menyangkut masaalah logika dan bukan masaalah linguistic. Lalu, oleh kerena itu menurut Verhaar (1978 : 137) masalah ini dapat dilewati saja, tidak perlu dipersoalkan lagi.
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandalkan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di dibawah makna kata lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hipernimi terhadap kata lain yang hierarkial berada di atasnya. Umpanya kata ikan  yang merupakan hipernimi terhadap kata tongkol, bandeng, tenggiri, teri, cakalang, dan mujair akan menjadi hiponimi terhadap kata binatang. Mengapa demikian? Sebab yang termasuk binatang bukan hanya ikan, tetapi juga kambing, moyet, gaja, dan sebagainya. Selanjutnya binatang ini pun merupakan hiponimi  terhadap kata makhluk, sebab yang termasuk makhluk bukan halnya  binatang tetapi juga manusia. Kalau diskemakakan akan menjadi :

      Makhluk

Manusia                                 binatang

Ikan     kambing         monyet           gajah

Tongkol          bandeng        cakalang        mujair

Konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada kata benda bagak sukar pada kata kerja dan kata sifat. Coba Anda pikirkan mengapa?
Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpanya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan; (2) bagian dari sesuatu yang terletak di seblah atas atau depan dan merupakan hal penting atau pada terutams seperti pada kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta api; (3)  bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4) pemeimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah, kepala kantor, dan kepala stasiun; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat. Badannya besar tetapi kepalanya kosong.
            Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia kata kepala setidaknya mengacu pada keenam buah konsep/makna:
Makna 1
Makna2
Kapala                       Makna 3
Makna 4
Makna 5
Makna 6
Padahal menurut pembicaraan terhahulu setiap kata hanya memiliki satu makana, yakni dapat disebut makna leksikal atau makna sesuai dengan referennya. Umpamanya makna leksikal kata kepala di atas adalah ‘bagian tubuh manusia atau hewan dari leher ke atas’. Makana leksikal ini yang sesuai dengan referennya (lazim disebut orang makna asal, atau makana sebenarnya) mempunyai banyak unsure atau komponen makana. Kata kepala di atas, antara lain, memiliki komponen makna :
(1)  Terletak di seblah atas atau depan
(2)  Merupakan bagian yang penting(tampa kepala manusia tidak biusa hidup, tetapi tanpa kaki atau lengan masi bisa hidup)
(3)  Berbentuk bulat
Dalam perkembangan selanjutnya komponen-komponan makna ini berkembang menjadi makana-makna tersendiri. Pada frase kepala surat dan kepala susu komponen”terletak di seblah atas”-lah yang diterapkan sebagai makna. Pada prase kepala paku dan kepala jarum  komponen makna “berbentuk bulat”-lah yang diterapkan sebagai makna; sedangkan frase kepala kereta api komponen makna “bagian yang terpenting”-lah yang diterapkan sebagai makna, sebabab tampa kepala (lokomotif) kereta api itu tidak dapat bergerak.
Kita ambil contoh lain, kata kaki yang memiliki komponen makna, antara lain.
(1)  Anggota tubuh manusi (juga binatang)
(2)  Terletak di sebelah bawah
(3)  Berfungsi sebagai penopang untuk berdiri
Komponen makana (1) adalah makana asal, yang sesuai dengan referen, atau juga makna leksikal dari kata itu. Dalam perkembangan selanjutnya komponen makna (2) menjadi makna tersendiri untuk menyatakan bagaian dari segala sesuatu yang terletak di sebelah bawah seperti dalam frase kaki gunung dan kaki bukit. Komponen makan (3) juga berkembang jadi makna sendiriuntuk menyatakan segala sesuatu yang berfungsi sebagai penopapang, seperti dalam frase kaki meja dan kaki kamere (tripoid). Bagaimana dengan kata kaki pada  kaki meja dan kaki kamera (triupoid). Bagaimana dengan kata kata kaki pada kaki kuda ? di sini kata kaki termasuk dalam komponen makna (1) karena cirri-pciri dan sifatnya sama dengan kaki pada manisia. (Menegenai komponen makana, lebih jauh dilihat 6.2)
Kalau kita perhatika kata kepala dan kata kaki dengan segala macam maknanya itu, maka kita dapat menyatakan bahwa makana-makna yang banyak dari sebuah kata yang polisemi itu masih ada sangkut pautnya dengan makna asal, karena dijabarkan dari komponen makna yang ada pada makna asal kara tersebut.
Makna-makna yang bukan  makna asal dari sebuah kata bukanlah makna leksikal sebab tidak menunjukkan  kepada referen dari kata lain. Lagi pula kehadirannya harus pula dalam satuan-satuan gramatikal yang lebih tinggi dari kata seperti frase atau kalimat. Kkata kepala yang berarti ‘pemimpin’ atau ‘ketua’ baru muncul dalam peraturan karena kehadirannya dalam frase kepala sekolah, kepala gerombolan, dan kepala rombongan. Tampa kehadirannya dalam satuan gramatikal yang lebih besar dari kata, kita tidak akan tahu akan makna-makna lain. Berbeda dengan makna asalnya yang sudah jelas dari makna leksikalnyua karena adanya referen tertentu dari kata tersebut.
Satu persoalan lagi yang bberkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita biasa membedakannya dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Perbedaannya yang jelas ialah bahwa homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena homonimi ini bukan sebuah kata, maka, maknanyapun berbeda. Oleh karena itu, di dalam kamus bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagai entri-entri yang berbeda. Sebaliknya bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Lalu, karena polisemi ini adalah sebuah kata maka di dalam kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Ada satu lagi perbedaan antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makna pada bentuk-bentuk homonimi tidak ada kaitan dan hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang lain. Apakah hubungan antara makna ‘racun ular’ pada kata bisa I dan makna ‘dapat’ pada kata bisa II?. Begitu jugakah apa hubungannya antara makna ‘kitab’ pada buku I dan makna ‘ruas’ pada kata buku II? Tentu saja tidak ada. Sedangkan makna-makna pada kata yang polisemi masi ada hubungannya karena memang dikembangkan dari komponen-komponen makna kata-kata tersebut. Namun, kadangkala, dalam beberapa kasus, kita sukar membedakan secara tegas antara polisemi dengan homonimi itu.
Ambiguitas
Ambiguitas atau nketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Konsep ini tidak salah, tetapi juga kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Polisemi juga bermakna ganda. Jadi, apa bedanya? Polisemi dan ambiguitas memang sama-sama bermakna ganda. Hanya kalau kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambigutas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Umpamanya, frase buku sejarah baru dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu beru terbit, atau (2) buku itu berisi sejarah zaman baru. Contoh lain, kalimat orang malas lewat di sana dapat ditafsirkan sebagai (1) jarang ada orang yang mau lewat di sana, atau (2) yang mau lewat di sana hanya orang-orang malas.
Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi karena struktur gramatikal itu dibantu oleh unsure-unsur intonasi. Tetapi di dalam bahasa tulis penafsiran ganda ini bisa saja terjadi jika penada-penada ejaan tidak lengkap diberikan. Barangkali kalau contoh buku sejarah baru dimaksudkan untuk makna atau penafsiran (1), maka sebaiknya ditulis buku-sejarah baru : tetapi jika dimaksudkan makna atau penafsiran (2), maka sebaaiknya ditulis buku sejarah-baru. Jadi, yang pertama antara kata buku dan sejarah diberi tanda hubung(-) sedangkan pada yang kedua tanda hubung itu diletakkan di antara kata sejarah dan kata baru. Namun, ambiguitas pada tingkat yang lebih tinggi dari kalimat seperti pada wacana [ ali bersahabat karib dengan Badu]. Dia sangat mencintai istrinya] tidak dapat diartikan dengan upaya ejaan. Contoh Anda pikirkan siapa mencintai istri siapa dalam wacana tersebut.
Pembicaraan mengenai ambiguitas ini tampaknya sama dengan pembicaraan mengenai homonimi. Contoh istri lurah yang baru itu cantik. Pada pembicaraan tentang homonimi, juga dapat menjadi contoh dalam pembicaraan tentanghomonimi, juga dapat menjadi contoh dalam pembicaraan ambiguitas. Kalau begitu, apa bedanya ambiguitas dengan homonimi? Perbedaannya adalah homonimi dilihat dari dua bentuk yang kebetulan sama dengan makna, yang beda, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Lagi pula ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan gramatikal (morfem, mkata, frase, dan kalimat) seperti sudah dibicarakan di atas.
Redundansi
Istilah redundansi sering diartikan sebagai’;berlebih-lebihan pemakaian unsure segmental dalam suatu ujaran’. Umpamanya kalimat Bola diendang oleh Si Udin, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan bola ditendang oleh Si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang berlebih-lebihan, dan sebenernya tidak perlu.
Secara semantic masalah redundansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsif dasar semantic adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Jadi, kalimat Bola ditendang oleh Si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat akan lebih menonjolkan makna pelaku (agentif) daripada kalimat poertama yang tampa kata oleh.
Sesungguhnya pernyataan yang mengatakan pemakaian kata oleh pada kalimat kedua adalah sesuatu yang redundansi, yang mubazir, karena toh makna kalimat itu tidak berbeda dengan kalimat yang pertama, adalah pernyataan yang mengelirukan atau ,engacaukan pengertian makna dan informasi. Makna adalah suatu fenomena dalam (utterance, internal phenomenon) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterance-external). Jadi, yang sama antara kalimat pertama dan kalimat kedua di atas bukan maknanya melainkan informasinya.
Contoh lain, bentuk gadis itu berbaju merah; Inilah satu-satunya yang paling mujarab adalah redundansi dari bentuk Inilah obat yang paling mujarab. Kalau dilihat dari segi keefektifan kalimat sebagaimana dituntut dalam pelajaran menulis secara baik dan cermat, memang kalimat-kalimat yang redundansi itu sebaiknya tidak digunakan. Gunakanlah kalimat yang lebih hemat dalam pemakaian kata. Jadi, kalimat Bola itu ditendang oleh Si Udin. Kalimat Gadis itu berbaju merah lebih efektif dari kalimat Gaadis itu mengenakan baju berwarna merah. Begitu juga kalimat Inilah obat yang paling manjur  lebih efektif dari kalimat Inilah obat satu-satunya yang paling manjur.

0 Response to "RELASI MAKNA"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel