SEMANTIK, LOGIKA, DAN TATA BAHASA


            Dalam kehidupan manusia bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga menyertai proses berfikir manusia dalam usaha memahami dunia luar, baik secara objektif maupun imajinatif. Sebab itu, bahasa selain memiliki fungsi komunikatif, juga memiliki fungsi kognitif dan fungsi emotif. Dengan kata lain, bahasa selain memiliki fungsi instrumental, regulatory, interaksional, personal, dan informative, juga memiliki fungsi heuristic dan imajinatif. Masalahnya sekarang, bagaimanakah kemungkinan hubungan antara bahasa dengan pikiran manusia serta dengan kegiatan memahami dan mengungkapkan realitas secara benar? Untuk membahas masalah tersebut, pada bab ini akan dibahas masalah (1) hubungan bahasa dengan pikiran, (2) bahasa sebagai struktur format realitas, (3) proposisi kategorial, (4) logika proposional, (5) logika predikatif, serta (6) beberapa pandangan tentang makna dalam hubungannya dengan tata bahasa.
           
1.  Antara Bahasa dengan Pikiran
            Informasi lewat bahasa, selain hanya menunjuk, pada struktur kebahasaan itu sendiri, juga mampu menunjuk pada sesuatu yang lain, yang mungkin saja kompleks. Pernyataan seperti Bogor, siang dan malam diguyur hujan, mengandung pengertian “Bogor siang dan malam diguyur hujan”. Akan tetapi, pernyataan seperti (1) Nilai kehidupan manusia ditentukan dirinya sendiri, (2) Kehidupan ini hanya permainan dan cobaan, maupun (3) Kehidupan abadi itu ada setelah kehidupan itu sendiri, ternyata tidak mampu menunjuk satu realitas objektif secara pasti. Pernyataan itu menunjukkan pada sesuatu yang lain yang dibentuk juga oleh bahasa itu sendiri. Dalam hal demikian, bahasa tidak lagi berkaitan dengan konsep objektif  tetapi berkaitan dengan  konsep mental.
Bagaimana hubungan antara bahasa dengan pikiran, sehingga menghadirkan konsep mental yang akhirnya membentuk mikrokosmos seseorang maupun pandangan hidup suatu masyarakat, telah menjadi bahan kajian sejak masa Aristoteles. Pemikir Yunani itu, dalam hal ini mengungkapkan teori yang lazim disebut the copy theory (Paivio & Begg, 1981 : 253). Secara garis besar, dalam teorinya tersebut Aristoteles mengungkapkan bahwa kata-kata sebagai alat ujaran dapat digunakan sebagai penanda sikap maupun kejiwaan. Meskipun tuturan setiap orang itu tidak sama, bentuk hubungan mental setiap orang dengan dunia luar lewat bahasa pada dasarnya sama.
            Pandangan di atas berbeda dengan pendapat yang terkandung di dalam teori relativitas bahasa. Teori yang memiliki asumsi dasar bahwa … language have special effects on thr mental activities of their users (Caroll, 1976:7) berpendapat bahwa meskipun realitas luar itu sepenuhnya bersifat objektif, tanggapan terhadapnya lewat bahasa senantiasa bersifat subjektif. Subjektivitas penanggapan itu ditentukan oleh pandangan, pengalaman, dorongan, keinginan, maupun suasana emosi penanggap. Sebab itu, meskipun dalam komunikasi setiap anggota masyarakat bahasa menggunakan bentuk kebahasaan secara objektif, bahasa yang digunakan untuk menanggapi, mengenal, dan memahami realitas lewat kesadaran atin tersebut senantiasa bersifat subjektif.
            Hasil signifikansi menjadi berbeda-beda karena meskipun kata ibu kota, misalnya, oleh masyarakat tutur bahasa Indonesia secara umum dapat diacukan pada “kota Jakarta”, tanggapan masing-masing individu secara relative ditentukan oleh pengalaman mauun cirri kejiwaan lain setiap individu. Seseorang yang merasa asing di tengah keluasan dan keriuhan ibu kota mungkin memaknai ibu kota sebagai “kota belantara”, sementara para perantau akan memaknainya sebagai kota “kota harapan dan impian”.
            Sehubungan dengan kegiatan signifikansi secara individual tersebut, hubungan antara bahasa dengan pikiran akhirnya memang tidak pernah berada dalam situasi “vakum”. Disebut demikian karena kegiatan signifikasi atau “penunjukan dan penghubungan”, selain menunjuk pada kekinian, juga menunjuk pada masa lalu dan yang akan datang. Dalam situasi demikian itulah akhirnya realitas luar yang terekam secara arbitrer lewat bahasa, tertanggapi dan terpilah lewat kesan dan kondisi kejiwaan penanggapnya. Karena hubungan antara realitas dengan bahasa memang semata-mata bersifat arbitrer, maka realitas dalam kesadaran yang terekam lewat bahasa memiliki potensi untuk senantiasa diolah, dimengerti secara terus-menerus, tanpa henti. Situasi demikian, seperti diungkapkan Ullman, menjadi salah satu penyebab kehadiran simbolisme dalam sastra, sebagai aliran yang kaya akan diafora dalam menampilkan gagasannya sehingga pesan yang disampaikan menjadi demikian padat dan mampu menampilkan berbagai nuansa makna ( Ullman, 1977 : 117 ).
            Dari sejumlah uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa dengan pikiran memiliki hubungan sangat erat. Manusia sebagai animal symbolicum memiliki bahasa bukan hanya untuk media berpikir, melainkan masuk lebih dalam sehingga menjadi elemen yang melangsungkan kegiatan berpikir itu sendiri. Dalam situasi demikian itulah dikenal adanya sebutan “tirani kata” karena kegiatan abstraksi, pengambilan keputusan, maupun dalam kegiatan yang dilakukan, manusia senantiasa dilingkupi kata-kata.

2. Bahasa sebagai struktur formal realitas
            Seperti kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, dalam mengenang, melamun, membandingkan, maupun dalam usaha memahami sesuatu, kita selalu berhubungan dengan realitas tertentu. Realitas itu mungkin bagian dari masa lalu atau objek tertentu secara langsung diamati dalam kekinian.
            Sesuai dengan keberadaan struktur formal bahasa sebagai wakil realitas secara arbitrer, maka akhirnya perolehan makna, selain dibedakan antara makna intensional, juga dibedakan antara makna ekstensional; selain terdapat makna konseptual juga terdapat makna referensial. Dari adanya keterbatasan bahasa dalam mewakili realitas yang mungkin juga menjadi salah satu bukti bahwa bahasa memang khas kreasi manusiawi, maka lInguistik akhirnya memang lebih banyak berfokus pada masalah, “apakah kata maupun struktur kebahasaan itu bermakna”, dan bukan pada masalah “apakah makna dari makna kata atau struktur kebahasaan”?.
            Terdapatnya kenyataan bahwa hubungan antara bahasa dan realitas semata-mata bersifat arbitrer, kenyataan bahwa bahasa selain memiliki sifat vagueness (kesamaran/ketidajelasan), inexplicitness (keidaktegasan), juga memiliki ketaksaan (kegandaan makna), dapat diaklumi bila struktur formal bahasa memiliki keterbatasan dalam mewakili realitas. Pernyataan seperti, aduh, indahnya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, maupun bait puisi Goenawan yang berbunyi, Tidakkah siapapun lahir kembali di detik begini, ketika bangkit bumi, sajak bisu abadi, dalam Kristal kata, dalam pesona? (Mohammad, 1971:17) pada sisi lain juga memberikan gambaran keterbatasan bahasa dalam mewakili fenomena yang telah diwarnai unsure emotif.
            Sesuai dengan keberadaan struktur formal bahasa sebagai wakil realitas secara arbitrer, maka akhirnya perolehan makna, selain dibedakan antara makna intensional, juga dibedakan antara makna ekstentional; selain terdapat makna konseptual  juga terdapat makna referensial. Untuk memahami makna ekstensional dan referensial secara tuntas, tentunya bukan mengurai struktur kebahasaan, melainkan langsung mengamati objek atau referen yang diacu. Sebab itulah Palmer, misalnya, mengungkapkan bahwa … knowing the meaning of an expression, however, cannot be equivalent to knowing its extension (Palmer, 1981:191). Dari adanya keterbatasan bahasa dalam mewakili realitas yang mungkin juga menjadi salah satu bukti bahwa bahasa memang khas kreasi manusiawi, maka linguistik akhirnya memang lebih banyak berfokus pada masalah, “apakah kata maupun struktur kebahasaan itu bermakna”, dan bukan pada masalah “apakah makna dari makna kata atau struktur kebahasaan”.
            Memindahkan realitas luar ke dalam struktur formal bahasa, dengan demikian, tidak pernah mampu merebut keseluruhan aktualitasnya, tetapi hanya mengambil berbagai kemungkinan yang dapat diidentifikasi. Dalam menyusun proposisi tentang “perbedaan mahasiswa laki-laki dengan perempuan”, misalnya, penyusun pastilah berusaha memperoleh jaringan hubungan: ciri komponen, pemarkah, dan pembedanya. Dasar penentuan jaringan tersebut pastilah bukan pada “klas umum” laki-laki dan perempuan berbagai ciri referen yang dimiliki, melainkan pada kesatuan referen dengan atribut mahasiswa. Seandainya mahasiswa laki-laki diberi symbol ML, ciri atau atribut yang diberikan untuk ML adalah x, maka x1, x2, x3 ……xn = ML. Begitu pula seandainya mahasiswa perempuan adalah MP, dan ciri yang diberikan adalah y, maka y1, y2, y 3 ….yn = MP. Apabila  ML  →~y  MP atau MP → ~ ML, maka x pada ML →~y pada MP atau y pada MP→~  x pada ML. Sesuai dengan keterbatasan struktur formal bahasa dalam mewakili realitas, sebutan x dan y untuk MP dan ML tentunya tida pernah identik.
            Paparan tentang x dan y tidak pernah identik karena realitas dalam bahasa memang hanya makrokosmos. Sebab itulah usaha tata bahasa traditional yang secara ketat menyatukan makna dan logika dengan struktur formal bahasa juga mendapat banyak kritikan. Kritikan itu tampak pada kehadiran konsep relativitas bahasa, konsep ilucutionary act yang dikembangkan oleh Austin & Searle, konsep speech act yang dikembangkan oleh Bloomfield maupun upaya Chomsky dalam memberikan otonomi pada komponen sintaktik yang memiliki peringkat tersendiri di luar komponen representasi semantis, meskipun disadari bahwa keduanya memiliki hubungan.
            Sebab itulah, memaknai struktur formal bahasa sehubungan dengan realitas acuan harus berada dalam suatu daur. Daur tersebut, seperti telah dibahas dalam kajian tentang bahasa sebagai system semiotic, selain melibatkan system kebahasaan dengan berbagai strata bentuknya, realitas social budaya, penutur, juga melibatkan keberadaan tanda itu sendiri sesuai dengan konteks pemakainya. Meskipun demikian, sesuai dengan keberadaan bahasa sebagai unsure primer dalam menghadirkan makna, suatu informasi bisa saja menjadi kabur atau bahkan menyimpang apabila penutur tidak mampu memilih dan menata strukturnya secara logis. Sebab itu, dalam kajian berikut ini akan dibahas masalah logika dengan bahasa berfokus pada tiga masalah utama, yakni (1) proposisi kategorial, (2) logika proposssional, (3) logika predikatif

3. Proposisi kategorial dalam logika bahasa
Sebagai istilah logika mengandung pengertian teknik bernalar secara benar. Kegiatan benalar tidak mungkin terlaksana apabila otak penalar berada dalam kondisi kosong. Untuk melakukan penalaran, seseorang harus memiliki pikiran, ide, konsep, pengertian, dan proposisi. Pengertian sebagai butir hasil pengolahan pikiran, ide, dan konsep dapat bertolak dari hasil pengamatan maupun abstraksi. Pengertian itu pula yang menjadi dasar pengkandung  proposisi sebagai pernyataan dasar yang masih berada dalam abstraksi.
            Pengertian sebagai dasar mengdahir proposisi tidak bersipat tunggal karena keberadaannya selalu memiliki hubungan dengan sesuatu yang lain. Proposisi tentang”mahasiswa perempuan itu rajin mencatat dan rapi”, misalnya selain menunjuk kepada mahasiswa, perempuan, mahasiswa perempuan, juga menunjuk pada sejumlah pengertian yang terkandung dalam kata rajin, mencatat, dan rapi. Kata yang mengandung pengertian tertentu tersebut, dalam logika lazim diistilahkan term.Bagaimana menghubungkan term yang satu dengan yang lain? Lebih lanjut dituntut adanya kemampuan mengkaitkan sejumlah term secara benar.Disebut demikian karena bentuk perangkai term yang lazim disebut konektor atau kopula, misalnya bentuk itu, yang, adalah, dari pada,dan,bukan, masing-masing memiliki cara semantic sendiri-sendiri. Sebab itu, kesalahan pemakaian juga menyebabkan penyimpangan penerimaan pesan.
            Pemilihan konektor yang tidak tepat sehingga menyebabkan timbulnya ambiguitas makna dan penyimpangan penerimaan pesan, dapat dikaji kembali pada contoh kalimat, malang adalah indah. Dihubungkan dengan adanya proposisi kategori standar, kerancuan terjadi selain karena ketidaktepatan pemakaian konektor adalah, juga disebabkan oleh tidak adanya kata kota sebagai term yang ditunjuk indah. Sebab itu, agar kalimat tersebut memiliki proposisi kategori standar, term yang ditunjuk oleh indah harus dimasukkan sehingga kalimat itu berbunyi, Malang adalah kota indah.

0 Response to "SEMANTIK, LOGIKA, DAN TATA BAHASA"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel