Hiponimi dan Hipernimi

Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kono, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hipo berarti  ‘di bawah’. Jadi, secara hararfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’, secara semantic Verhar (1978 : 137) menyatakan hiponimi ialah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga berupa frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian  dari suatu ungkapan lain. Umpanya kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan sebab makna tongkol berada atau termasuk dalam makna kata ikan. Tongkol memang ikan bukan hanya tongkol melainkan juga termasuk bandeng, tenggiri, teri, mujair, cakalang, dan sebagainya. Kalau diskemakan menjadi :
                                                                        IkanTongkol          bandeng        tenggiri          teri       mujair             cakalangdua arah
Kalau relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan hiponim bersifat dua arah, maka relasi antara dua buah kata kata yang bersinonim ini adalah searah. Jadi kata tongkol berhiponim terhadap kata ikan; tetapi kata ikan tidak berhiponim terhadap kata tongkol, makna ikan meliputi seluruh jenis ikan. Dalam hal ini relasi antara ikan dengan tongkol (atau jenis ikan lainnya) disebut hipernimi. Jadi kalau tongkol berhiponimi terhadap kata ikan, maka ikan berhipermim terhadap tongkol.  Perharikan bagan berikut !
Hiponim
Tongkol                                                                                  ikan
                                                hipernim

Contoh lain, kata bemo dan kendaraan. Kalau bemo berhiponim terhadap kata  kendaraan, sebab bemo adalah salah satu jenis kendaraan. Sebaliknya  kata kendaraan berhipernim terhadap kata bemo sebab kata bemo di samping jenis kendaraan lain (seperti becak, sepeda, kereta api, dan bis).
Bagaimana hubungan antara tongkol, tenggeri, teri, dan mujair  yang sama-sama merupakan hiponim terhadap kata ikan? Biasanya disebut dengan istilah kohiponim. Jadi, tongkol berkohiponim dengan tenggiri, dengan bandeng, dan dengan yang lainnya.
Dalam definisi Verhaar di atas ada disebutkan bahwa hiponim kiranya terdapat pula dalam bentuk frase dan kalimat. Tetapi kirany sukar mencari contohnya dalam bahasa Indonesia karena juga hal ini lebih banyak menyangkut masaalah logika dan bukan masaalah linguistic. Lalu, oleh kerena itu menurut Verhaar (1978 : 137) masalah ini dapat dilewati saja, tidak perlu dipersoalkan lagi.
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandalkan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di dibawah makna kata lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hipernimi terhadap kata lain yang hierarkial berada di atasnya. Umpanya kata ikan  yang merupakan hipernimi terhadap kata tongkol, bandeng, tenggiri, teri, cakalang, dan mujair akan menjadi hiponimi terhadap kata binatang. Mengapa demikian? Sebab yang termasuk binatang bukan hanya ikan, tetapi juga kambing, moyet, gaja, dan sebagainya. Selanjutnya binatang ini pun merupakan hiponimi  terhadap kata makhluk, sebab yang termasuk makhluk bukan halnya  binatang tetapi juga manusia. Kalau diskemakakan akan menjadi :

      Makhluk

Manusia                                 binatang

Ikan     kambing         monyet           gajah

Tongkol          bandeng        cakalang        mujair

Konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada kata benda bagak sukar pada kata kerja dan kata sifat. Coba Anda pikirkan mengapa?
Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpanya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan; (2) bagian dari sesuatu yang terletak di seblah atas atau depan dan merupakan hal penting atau pada terutams seperti pada kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta api; (3)  bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4) pemeimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah, kepala kantor, dan kepala stasiun; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat. Badannya besar tetapi kepalanya kosong.
            Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia kata kepala setidaknya mengacu pada keenam buah konsep/makna:
Makna 1
Makna2
Kapala                       Makna 3
Makna 4
Makna 5
Makna 6
Padahal menurut pembicaraan terhahulu setiap kata hanya memiliki satu makana, yakni dapat disebut makna leksikal atau makna sesuai dengan referennya. Umpamanya makna leksikal kata kepala di atas adalah ‘bagian tubuh manusia atau hewan dari leher ke atas’. Makana leksikal ini yang sesuai dengan referennya (lazim disebut orang makna asal, atau makana sebenarnya) mempunyai banyak unsure atau komponen makana. Kata kepala di atas, antara lain, memiliki komponen makna :
(1)  Terletak di seblah atas atau depan
(2)  Merupakan bagian yang penting(tampa kepala manusia tidak biusa hidup, tetapi tanpa kaki atau lengan masi bisa hidup)
(3)  Berbentuk bulat
Dalam perkembangan selanjutnya komponen-komponan makna ini berkembang menjadi makana-makna tersendiri. Pada frase kepala surat dan kepala susu komponen”terletak di seblah atas”-lah yang diterapkan sebagai makna. Pada prase kepala paku dan kepala jarum  komponen makna “berbentuk bulat”-lah yang diterapkan sebagai makna; sedangkan frase kepala kereta api komponen makna “bagian yang terpenting”-lah yang diterapkan sebagai makna, sebabab tampa kepala (lokomotif) kereta api itu tidak dapat bergerak.
Kita ambil contoh lain, kata kaki yang memiliki komponen makna, antara lain.
(1)  Anggota tubuh manusi (juga binatang)
(2)  Terletak di sebelah bawah
(3)  Berfungsi sebagai penopang untuk berdiri
Komponen makana (1) adalah makana asal, yang sesuai dengan referen, atau juga makna leksikal dari kata itu. Dalam perkembangan selanjutnya komponen makna (2) menjadi makna tersendiri untuk menyatakan bagaian dari segala sesuatu yang terletak di sebelah bawah seperti dalam frase kaki gunung dan kaki bukit. Komponen makan (3) juga berkembang jadi makna sendiriuntuk menyatakan segala sesuatu yang berfungsi sebagai penopapang, seperti dalam frase kaki meja dan kaki kamere (tripoid). Bagaimana dengan kata kaki pada  kaki meja dan kaki kamera (triupoid). Bagaimana dengan kata kata kaki pada kaki kuda ? di sini kata kaki termasuk dalam komponen makna (1) karena cirri-pciri dan sifatnya sama dengan kaki pada manisia. (Menegenai komponen makana, lebih jauh dilihat 6.2)
Kalau kita perhatika kata kepala dan kata kaki dengan segala macam maknanya itu, maka kita dapat menyatakan bahwa makana-makna yang banyak dari sebuah kata yang polisemi itu masih ada sangkut pautnya dengan makna asal, karena dijabarkan dari komponen makna yang ada pada makna asal kara tersebut.
Makna-makna yang bukan  makna asal dari sebuah kata bukanlah makna leksikal sebab tidak menunjukkan  kepada referen dari kata lain. Lagi pula kehadirannya harus pula dalam satuan-satuan gramatikal yang lebih tinggi dari kata seperti frase atau kalimat. Kkata kepala yang berarti ‘pemimpin’ atau ‘ketua’ baru muncul dalam peraturan karena kehadirannya dalam frase kepala sekolah, kepala gerombolan, dan kepala rombongan. Tampa kehadirannya dalam satuan gramatikal yang lebih besar dari kata, kita tidak akan tahu akan makna-makna lain. Berbeda dengan makna asalnya yang sudah jelas dari makna leksikalnyua karena adanya referen tertentu dari kata tersebut.
Satu persoalan lagi yang bberkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita biasa membedakannya dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Perbedaannya yang jelas ialah bahwa homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena homonimi ini bukan sebuah kata, maka, maknanyapun berbeda. Oleh karena itu, di dalam kamus bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagai entri-entri yang berbeda. Sebaliknya bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Lalu, karena polisemi ini adalah sebuah kata maka di dalam kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Ada satu lagi perbedaan antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makna pada bentuk-bentuk homonimi tidak ada kaitan dan hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang lain. Apakah hubungan antara makna ‘racun ular’ pada kata bisa I dan makna ‘dapat’ pada kata bisa II?. Begitu jugakah apa hubungannya antara makna ‘kitab’ pada buku I dan makna ‘ruas’ pada kata buku II? Tentu saja tidak ada. Sedangkan makna-makna pada kata yang polisemi masi ada hubungannya karena memang dikembangkan dari komponen-komponen makna kata-kata tersebut. Namun, kadangkala, dalam beberapa kasus, kita sukar membedakan secara tegas antara polisemi dengan homonimi itu.

Ambiguitas
Ambiguitas atau nketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Konsep ini tidak salah, tetapi juga kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Polisemi juga bermakna ganda. Jadi, apa bedanya? Polisemi dan ambiguitas memang sama-sama bermakna ganda. Hanya kalau kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambigutas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Umpamanya, frase buku sejarah baru dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu beru terbit, atau (2) buku itu berisi sejarah zaman baru. Contoh lain, kalimat orang malas lewat di sana dapat ditafsirkan sebagai (1) jarang ada orang yang mau lewat di sana, atau (2) yang mau lewat di sana hanya orang-orang malas.
Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi karena struktur gramatikal itu dibantu oleh unsure-unsur intonasi. Tetapi di dalam bahasa tulis penafsiran ganda ini bisa saja terjadi jika penada-penada ejaan tidak lengkap diberikan. Barangkali kalau contoh buku sejarah baru dimaksudkan untuk makna atau penafsiran (1), maka sebaiknya ditulis buku-sejarah baru : tetapi jika dimaksudkan makna atau penafsiran (2), maka sebaaiknya ditulis buku sejarah-baru. Jadi, yang pertama antara kata buku dan sejarah diberi tanda hubung(-) sedangkan pada yang kedua tanda hubung itu diletakkan di antara kata sejarah dan kata baru. Namun, ambiguitas pada tingkat yang lebih tinggi dari kalimat seperti pada wacana [ ali bersahabat karib dengan Badu]. Dia sangat mencintai istrinya] tidak dapat diartikan dengan upaya ejaan. Contoh Anda pikirkan siapa mencintai istri siapa dalam wacana tersebut.
Pembicaraan mengenai ambiguitas ini tampaknya sama dengan pembicaraan mengenai homonimi. Contoh istri lurah yang baru itu cantik. Pada pembicaraan tentang homonimi, juga dapat menjadi contoh dalam pembicaraan tentanghomonimi, juga dapat menjadi contoh dalam pembicaraan ambiguitas. Kalau begitu, apa bedanya ambiguitas dengan homonimi? Perbedaannya adalah homonimi dilihat dari dua bentuk yang kebetulan sama dengan makna, yang beda, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Lagi pula ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan gramatikal (morfem, mkata, frase, dan kalimat) seperti sudah dibicarakan di atas.
Redundansi
Istilah redundansi sering diartikan sebagai’;berlebih-lebihan pemakaian unsure segmental dalam suatu ujaran’. Umpamanya kalimat Bola diendang oleh Si Udin, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan bola ditendang oleh Si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang berlebih-lebihan, dan sebenernya tidak perlu.
Secara semantic masalah redundansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsif dasar semantic adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Jadi, kalimat Bola ditendang oleh Si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat akan lebih menonjolkan makna pelaku (agentif) daripada kalimat poertama yang tampa kata oleh.
Sesungguhnya pernyataan yang mengatakan pemakaian kata oleh pada kalimat kedua adalah sesuatu yang redundansi, yang mubazir, karena toh makna kalimat itu tidak berbeda dengan kalimat yang pertama, adalah pernyataan yang mengelirukan atau ,engacaukan pengertian makna dan informasi. Makna adalah suatu fenomena dalam (utterance, internal phenomenon) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterance-external). Jadi, yang sama antara kalimat pertama dan kalimat kedua di atas bukan maknanya melainkan informasinya.
Contoh lain, bentuk gadis itu berbaju merah; Inilah satu-satunya yang paling mujarab adalah redundansi dari bentuk Inilah obat yang paling mujarab. Kalau dilihat dari segi keefektifan kalimat sebagaimana dituntut dalam pelajaran menulis secara baik dan cermat, memang kalimat-kalimat yang redundansi itu sebaiknya tidak digunakan. Gunakanlah kalimat yang lebih hemat dalam pemakaian kata. Jadi, kalimat Bola itu ditendang oleh Si Udin. Kalimat Gadis itu berbaju merah lebih efektif dari kalimat Gaadis itu mengenakan baju berwarna merah. Begitu juga kalimat Inilah obat yang paling manjur  lebih efektif dari kalimat Inilah obat satu-satunya yang paling manjur.

0 Response to "Hiponimi dan Hipernimi"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel