PRAGMATIK


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Linguistik sebagai kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Di antara cabang-cabang itu ialah fonologi, morfologi, sintaksis, dan pragmatik. Fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari bunyi bahasa menurut fungsinya. Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji seluk beluk kata. Sintaksis adalah ilmu bahasa yang mengkaji kalimat.
Di balik bunyi, kata, dan kalimat terdapat makna yang tersirat yang sangat bergantung pada kapan, dimana, siapa yang berbicara, siapa lawan bicara, dan dalam situasi apa. Kajian seperti ini, memerlukan cabang bahasa tertentu untuk mengkajinya. Cabang ilmu kebahasaan yang dimaksud adalah pragmatik.
Pada kenyataannya, aspek kebahasaan yang banyak dipelajari di sekolah yaitu berkaitan dengan tata bahasa atau aspek fonologis, morfologis, sintaktis, dan sematik. Padahal dalam berkomunikasi yang paling sering dijumpai adalah pemakaian ilmu pragmatik.
Pragmatik yang merupakan prinsip-prinsip penggunaan bahasa, belum banyak diketahui oleh sebagian besar pemakai bahasa Indonesia, khususnya para mahasiswa dan guru bahasa Indonesia. Untuk mengetahui pragmatik perlu ada pembahasan khusus mengenai hakikat pragmatik dan kajian pragmatik. Uraian ini dimaksudkan sebagai perkenalan awal bagi seseorang yang ingin mengenal pragmatik.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, adalah Apa hakikat pragmatik itu? Apa saja yang dikaji dalam pragmatik?
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penulisan makalah ini, adalah menguraikan hakikat pragmatik dan kajian yang termasuk dalam pragmatik.
Manfaat yang dapat diperoleh dengan uraian ini, adalah memahami konsep dasar dan mengetahui secara mendalam tentang kaji pragmatik. Dengan memahami hal ini, berarti menghidari adanya kesalahpahaman terhadap pemakaian bahasa sebagai alat komunikasi.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Pragmatik
Di dalam ketiga subsistem - fonologi, gramatika, dan leksikon - dunia bunyi dan dunia makna bertemu, dan membentuk struktur. Di dalam dunia bunyi dan dunia makna, terdapatlah konteks. Kontes mem­pengaruhi keserasian sistem suatu bahasa. Konteks, yaitu unsur di luar bahasa, dikaji dalam pragmatik.
Untuk mengkaji pragmatik di dalam bahasa tertentu, kita perlu memahami budaya masyarakat pengguna bahasa itu. Dalam berbagai daerah di Indonesia, kita terbiasa dengan sapaan "Mau ke mana?" tanpa harus menjawab secara tepat ke mana tujuan kita. Di RRC, kita akan mendapat sapaan "Sudah makan?" dan tidak perlu menanggapinya de­ngan jawaban yang lugas.
Contoh-contoh sapaan di atas menunjukkan bahwa penutur bahasa yang bersang­kutan mengerti bahwa orang yang mengajaknya bicara bermaksud berbasa-basi kepada­nya. Apa yang dimaksud oleh para pengguna bahasa ketika berinteraksi inilah yang antara lain dipelajari dalam pragmatik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pragmatik mengkaji makna yang dipengaruhi oleh hal-hal di luar bahasa.
Pragmatik adalah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian, (Levinson dalam Nababan, 1987:2). Selanjutnya (Kaswanti Purwa, 1990:16) menyatakan bahwa pragmatik adalah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik, maksudnya ialah makna setelah dikurangi semantik.
B. Kajian Pragmatik
            Sebagai suatu cabang ilmu bahasa, pragmatik memiliki kajian atau bidang telaahan tertentu. Ada empat kajian pragrnatik, yaitu: (1) deiksis, (2) praanggapan (presup­position), (3) tindak ujaran (speech acts), dan (4) implikatur percakapan (conversa­tional implicature) (Kaswanti Purwo, 1990:17). Di bawah ini akan disajikan penjelasan mengenai keempat bidang kajian pragmatik itu.
1.    Deiksis
   Dalam kajian pragmatik dikenal lima macam deiksis, yaitu: (1) deiksis orang, (2) deiksis tempat, (3) deiksis waktu, (4) deiksis wacana, dan (5) deiksis sosial (Nababan, 1987:41).
Deiksis orang ialah pemberian bentuk kepada personal atau orang, yang mencakup ketiga kelas kata ganti diri, yaitu: kata ganti orang pertama, kata ganti orang kedua, dan kata ganti orang ketiga, baik bentuk tunggal maupun bentuk jamak. Misalnya: saya, aku, untuk kata ganti orang pertama tunggal; kami, untuk kata ganti orang pertama jamak; engkau, kamu, Saudara lbu, Bapak, untuk kata ganti orang kedua tunggal dan kalian, Saudara-saudara, untuk kata ganti orang kedua jamak; ia, dia untuk kata ganti orang ketiga tunggal dan mereka untuk kata ganti orang ketiga jamak.
Deiksis tempat ialah pemberian bentuk,.kepada lokasi atau ruang yang merupakan tempat dalam peristiwa berbahasa itu. Dalam tata bahasa kata atau frase seperti ibu disebut kata atau frase keterangan tempat. Misalnya: di sini, di situ, di sana.
Deiksis waktu ialah pemberian bentuk kepada titik atau jarak waktu dipandang dari waktu atau saat suatu ungkapan dibuat. Dalam tata bahasa bentuk-bentuk seperti itu tergolong dalam kata atau frase keterangan tempat. Misalnya: kini, pada waktu itu, kemarin, kemarin dulu, lusa, bulan ini.
Deiksis wacana ialah pemberian bentuk kepada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah disebuf atau yang akan disebut, yang telah diuraikan atau yang sedang dikembangkan. Dalam ilmu bahasa gejala - ini disebut anafora, yaitu yang menunjuk kepada yang sudah disebut dan katafora, yaitu yang  menunjuk kepada yang akan disebut. Misalnya: ini, itu, yang terdahulu (anafora); yang berikut; di bawah ini, sebagai berikut (katafora).
Deiksis sosial menuqjukkan atau mengungkapkan adanya perbedaan-perbedaan kemasyarakatan yang terdapat di  antara peran serta, yaitu antara pembicara dan pendengar atau orang yang dituju. Hal itu, terjadi disebabkan adanya tingkatan bahasa, seperti yang terdapat pada bahasa Jawa atau 'bahasa Sunda. Misalnya: kowe, untuk tingkat ngoko atau sanpeyan untuk tingkat madyo atau penjenengan untuk tingkat kromo atau kromo inggil yang terdapat dalam bahasa Jawa untuk pengertian  aku; silaing untuk tingkat kasar; maneh untuk tingkat sedang atau anjeun untuk tingkat halus dalam hahasa Sunda yang berarti "kamu". Aspek berbahasa seperti, itu disebut kesopanan berbahasa, undak-usuk atau etiket berbahasa (Greetz, 1960 dalam Nababan, 1987:43). Sistem penggunaan bahasa yang mendasari aspek berbahasa seperti itu dapat disebut sopas santun berbahasa atau honorifics.
2.    Praanggapan
Untuk memahami praanggapan, perhatikanlah kalimat-kalimat di bawah ini.
1)    Berapa batang sehari kamu merokok?
2)    Tono gagal meraih juara pertama dalam Iomba baca puisi itu.
3)    Tini hidup sendirian ditinggal suaminya.
4)    Kemarin petang Dodi pergi ke apotek.
5)    Dodo menawatkan tanahnya yang di Bekasi kepada Pak Miryadi.
Kalimat (1) ialah bentuk kalimat tanya yang mengandung makna menanyakaa jumlah batang tokok yang diisap oleh seseorang dalam sehari. Makna tersebut disebut juga sebagai makna yang tersutat atau secara eksplisit. Ternyata, kalimat itu tidak hanya mengandung makna yang tersurat, tetapi juga mengandung makna yang tersirat atau secara implisit.
Selain dari makna yang dinyatakan dengan pengucapan atau penulissn kalimat itu, turut disertakan pula tambahan makna, yang tidak dinyatakan, tetapi tersirat dari pengucapan atau penulisan kalimat itu. Makna yang tersirat atau tambahan makna itu kita peroleh melalui kegiatan berbahasa yang dalam ilmu bahasa disebut praanggapan (presupposition).
Dari kalimat (1) kita dapat berpraanggapan "Kamu biasa atau suka merokok". Dari kalimat (2) kita dapat berpraanggapan" Tono berusaha meraih juara pertama dalam lomba baca puisi itu". Dari kalimat (3) kita dapat berpraanggapan "Tini sudah diceraikan oleh suaminya" atau "Suami Tini ' sudah meninggal dunia". Dari kalimat (4) kita dapat berpraanggapan" Dodi sakit" atau "Di antara anggota keluarga Dodi ada yang sakit." Dari kalimat (5) kita dapat berpraanggapan "'Dodo memerlukan uang". Pengetahuan tentang praanggapan ini sangat penting dalam usaha mengerti dan memahami isi wacana.
3.    Tindak Tutur
Selanjutnya, perlu diketahui bahwa di dalam menyatakan suatu kalimat, seseorang tidak hanya menyatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat itu. Di dalam pengucapan suatu kalimat, seseorang juga menindakkan sesuatu. Inilah yang disebut tindak ujaran (speech atcs). Misalnya dengan pengucapan Hari panas sekali, seorang guru tidak hanya menginformasikan bahwa hari panas, ia juga menindakkan  sesuatu, yaitu mengharapkan agar muridnya membukakan pintu dan jendela sefta memasang kipas angin. Seorang pedagang mengucapkan kalymat Mau mirtum apa? tidak hanya menanyakan atau meminta jawaban tertentu dari tamunya, tetapi ia juga menindakkan sesuatu, yaitu menawarkan minuman.
Tindak ujaran ada yang berupa langsung, ada yang tidak langsung. Perhatikan contoh berikut:                                                    
Tindak ujaran langsung:
Anak : Minta uang Untuk membeli garam!
Ayah : Ini!
Anak : Minta uang untuk ongkos ke sekolah!
Ayah : Ini!
Tindak ujar tidak langsung:
Anak: Saya tidak ada uang, Pak!
Ayah: Saya tidak ada uang kecil
Anak: Garamnya habis, ayah!
Ayah: Ini uangnya, beli sana!
4.    Implikatur percakapan
Pembicara di dalam percakapan harus berusaha agar apa yang dikatakannya relevan dengan situasi di dalam percakapan itu, jelas dan mudah dipahami oleh pendengarnya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa ada kaidah-kaidah yang harus ditaati oleh pem bicara agar percakapan dapat berjalan lancar. Kaidah-kaidah ini, di dalam kajian pragmatik, dikenal sebagai prinsip kerja sama.
Grice (1975) mengungkapkan bahwa di dalam prinsip kerjasama, seorang pembicara harus mematuhi empat maksim. Maksim adalah prinsip yang harus ditaati oleh peserta pertuturan dalam berinteraksi, baik secara tekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi. Keempat maksim percakapan itu adalah: (1) maksim kuantitas (maxim of quantity); (2)  maksim kualitas (maxim of quality); (3) maksim relevansi (maxim of relevance); dan (4) maksim cara (maxim of manner).
a. Maksim Kuantitas
Berdasarkan maksim kuantitas, dalam percakapan penutur harus memberikan kontribusi yang secukupnya kepada mitra tuturnya. Kalimat (1) menunjukkan kontribusi yang cukup kepada mitra tuturnya. Bandingkanlah dengan kalimat (2) yang terasa berlebihan.
(1)   Anak gadis saya sekarang sudah punya pacar.
(2)   Anak gadis saya yang perempuan sudah punya pacar.
Di dalam kalimat (2) kata gadis sudah mencakup makna 'perempuan' sehingga kata perempuan dalam kalimat tersebut memberikan kontribusi yang berlebih.
Maksim kuantitas juga dipenuhi oleh apa yang disebut pembatas (hedge), yang me­nunjukkan keterbatasan penutur dalam mengungkapkan informasi. Hal ini dapat kita lihat dalam ungkapan di awal kalimat seperti singkatnya, dengan kata lain, kalau boleh dikatakan, dan sebagainya.
b. Maksim Kualitas
Berdasarkan maksim kualitas, peserta percakapan harus mengatakan hal yang sebenar­nya. Misalnya, seorang mahasiswa Universitas Indonesia seharusnya mengatakan bahwa Kampus Baru Universitas Indonesia terletak di Depok, bukan kota lain, kecuali jika ia benar-benar tidak tahu.          .
Kadang kala, penutur tidak merasa yakin dengan apa yang diinformasikannya. Ada cara untuk mengungkapkan keraguan seperti itu tanpa harus menyalahi maksim kuali­tas. Seperti halnya maksim kuantitas, pemenuhan maksim kualitas oleh ungkapan ter­tentu. Ungkapan di awal kalimat seperti setahu saya, kalau tidak salah dengar, katanya, dari sebagainya, menunjukkan pembatas yang memenuhi maksim kualitas.

c. Maksim Relevansi
Berdasarkan maksim relevansi, setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan situasi pembicaraan. Bandingkanlah penggalan percakapan (3) dan (4) berikut ini.
(3)     A: Kamu mau minum apa?
       B: Yang hangat-hangat saja.
(4)   C: Kamu mau minum apa?
       D: Sudah saya cuci kemarin.
Di dalam penggalan percakapan (3) kita dapat melihat bahwa B sudah mengungkapkan jawaban yang relevan atas pertanyaan A. Di dalam penggalan percakapan (4), sebagai penutur bahasa Indonesia kita dapat mengerti bahwa jawaban D bukanlah jawaban yang relevan dengan pertanyaan C.
Topik-topik yang berbeda di dalam sebuah percakapan dapat menjadi relevan jika mempunyai kaitan. Di dalam hubungannya dengan maksim relevansi, kaitan ini dapat dilihat sebagai pembatas. Ungkapan-ungkapan di awal kalimat seperti Ngomong-ngo­mong...., Sambil lalu...., atau By the way.... merupakan pembatas yang memenuhi maksim relevansi.
d. Maksim Cara
Berdasarkan maksim cara, setiap peserta percakapan harus berbicara langsung dan lugas serta tidak berlebihan. Di dalam maksim ini, seorang penutur juga harus menafsirkan kata-kata yang dipergunakan oleh mitra tuturnya berdasarkan konteks pemakaiannya. Marilah kita bandingkan penggalan percakapan (6) dan (7)
(6) A: Mau yang mana, komedi atau horor?
B: Yang komedi saja. Gambarnya juga lebih bagus.
(7)   C: Mau yang mana, komedi atau horor?
D: Sebetulnya yang drama bagus sekali. Apalagi pemainnya aku suka semua. Tapi ceritanya tidak jelas arahnya. Action oke juga, tapi ceritanya aku tidak me­ngerti.
C: Jadi kamu pilih yang mana?
Di dalam kedua penggalan percakapan di atas kita dapat melihat bahwa jawaban B adalah jawaban yang lugas dan tidak berlebihan. Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat dari jawaban D.
Untuk memenuhi maksim cara, adakalanya kelugasan tidak selalu bermanfaat di dalam interaksi verbal (hal ini dapat kita lihat pula pada bagian yang membicarakan interaksi dan sopan santun). Sebagai pembatas dari maksim cara, pembicara dapat me­nyatakan ungkapan seperti  Bagaimana kalau..., Menurut saya... dan sebagainya.


BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Pragmatik adalah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian, (Levinson dalam Nababan, 1987:2). Selanjutnya (Kaswanti Purwa, 1990:16) menyatakan bahwa pragmatik adalah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik, maksudnya ialah makna setelah dikurangi semantik.
Pragmatik memiliki kajian atau bidang telaahan tertentu. Ada empat kajian pragrnatik, yaitu: (1) deiksis, (2) praanggapan (presup­position), (3) tindak ujaran (speech acts), dan (4) implikatur percakapan.
Dalam kajian pragmatik dikenal lima macam deiksis, yaitu: (1) deiksis orang, (2) deiksis tempat, (3) deiksis waktu, (4) deiksis wacana, dan (5) deiksis sosial.
B.   Saran
Pemahaman tentang pragmatik oleh penutur bahasa lebih-lebih pada calon pakar bahasa sangat dibutuhkan untuk melengkapi analisis bahasa seperti fonologi, morfologis, dan sintaksis.
Seyogianya pemakai bahasa mengetahui unsure-unsur di luar bahasa yang turut mempengaruhi makna bahasa. Jalan satu-satu harus memahami hakikat dan kajian pragmatik.
 Sebagai mahasiswa pascasarjana jurusan Bahasa Indonesia sebaiknya mengadakan penelitian tentang  deiksis, praanggapan (presup­position), tindak ujaran (speech acts), dan implikatur percakapan yang belum banyak dilakukan oleh mahasiswa pascasarjana jurusan bahasa Indonesia.
Pemahaman pragmatik melalui bahasa tulis sulit dilakukan, oleh karena itu setiap ingin menyampaikan pendapat secara lisan dan tertulis sepatutnya menghindari penggunaan bahasa yang bisa menimbulkan makna ganda dan yang paling penting adalah mendalami pragmatik.


Daftar Pustaka
KaswantiPurbo, Bambang. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius.

Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik. Jakarta: Depdikbud.
Samsuri. 1988. Analisis Wacana. Malang: IKIP Malang.
Kushartanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tolla, Achmad dan Muhammad Rapi Tang. 2006. Bahan Ajar Pragmatik (Implikatur Percakapan).  Makassar: Pascasarjana UNM.

1 Response to "PRAGMATIK"

Unknown mengatakan...

Terima kasih bu,,
sangat membantu,,
keep posting a good thing :D

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel