CERPEN
GUDANG MANUSIA
Malam yang dipaksa untuk melek, sebuah malam yang terjaga tak
berpenjaga. Sederet kehidupan yang ganjil diperagakan segelintir anak ingusan
dibalik dinding-dinding lumutan. Mata mereka polos menembus jeruji-jeruji
jendela yang tak berkaca. Anak-anak itu bebas memperagakan kebebasannya
menjangkau sudut-sudut rumah itu. Rumah itu bagaikan “Disney Land ”
yang juga tak ubahnya seperti “Free Lands Kids” ala Herry Potter, nampak
sebagai taman bermain yang tak bertuan.
Seorang anak yang berwajah kehitam-hitaman, memereh menggaet
tulang punggungnya dari dipan-dipan empuk bermotif pudar oleh peluh. Betapa
tidak, lantaran kehidupan yang tak berkemudi, siang berubah jadi malam dan
malam berubah jadi siang.
Sebuah pemandangan yang sebenarnya tidak perlu terjadi di
tengah-tengah kesibukan kota
dalam mengais kehidupan yang sebenarnya.
Hanya anak itu
yang mem iliki karakter istimewa di antara anak-anak yang lain. Ketika anak itu
beradu mulut “ Saya duluan!, “ Saya lebih tua!
Hei, idiot, Saya duluan karena saya lebih lama di sini! Tidak,
bukan…..!
Saya duluan memegang ini!.
Persetan dengan konflik yang tak berkelas, anak itu melesat
keluar, meluncur walaupun sekedar menyapa para tetangga. Dia tahu kehidupan di
luar rumah cukup berarti.
Rumah lumutan itu
sengaja dipermak menjadi bangunan yang tiada hari tanpa pembenahan. Nampak dari
dalam dan dari luar keadaan bangunan itu sengaja dibuat untuk mengetuk perasaan
iba. Memancing uluran tangan dari orang berduit. Bangunan itu penuh dengan
permainan bagaikan orang berjudi menuju kursi legislatif.
Coba bayangkan,
rumah itu tak pernah sepi dari uluran tangan. Tapi, mengapa rumah itu bagaikan
tak berkepala. Saban hari seseorang berpenampilan elitis dengan mobil mewahya
berkunjung ke rumah lumutan tersebut. Pada saat yang bersamaan seorang yang
bertubuh tambun dan lebam keluar dari rumah tersebut. “Nggak salah pak,
bukankah setahun yang lalu Bapak berjanji untuk membenahi rumah ini? Tapi, kok
nggak ada perubahan sedikitpun? Tanya seseorang yang bersosok elitis tersebut.
Dengan nada agak
menanjak seseorang yang bertubuh tambun yang tidak lain adalah pengurus rumah
itu berkilah “ Yang perlu Bapak tahu adalah orang menyumbang itu berurusan
dengan keikhlasan, bukan mengungkit kembali, itu sudah tidak ikhlas namanya”.
Dengan menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala Bapak yang
tidak lain pendonor itu memanggil beberapa anak untuk diberikan sumbangan dalam
beberapa lembar uang.
Melihat hal tersebut pengurus rumah itu mengangkat suara “Pak! Ini
sudah tidak benar! Bapak menyumbang tidak melalui Saya sebagai penangung
jawab!, apa yang ditahu anak-anak itu dalam mengelola uang, mereka masih
ingusan”.
Dengan suara yang
datar dan cukup tenang sang bapak menjawab “Saya hanya ingin memberi dengan
ikhlas, saya ingin mereka langsung menikmatinya. Apapun yang terjadi, pokoknya
niat tulus saya sudah sampai ke tangan mereka. “pokoknya dari dulu saya
bertekad ingin membantu anak yatim”.
*********
Fajar kembali
terhampar. Suara kemenangan mengangkasa menyambut asa menuju dewasa. Seperti
biasa malam kembali dihabiskan hingga terlelap di waktu fajar. Sungguh ironi,
anak-anak itu yang ditopang oleh tulang punggung yang masih ranum siangnya
justru dijadikan sebagai malam. Mereka tidak dapat berdiri tegak menyambut
suara kemenangan “ Hayya ‘alal falah”. Baru kali ini aku melihat kehidupan yang
benar-benar terbalik di kota ini, kota “Daeng”. Hal itu
bertambah memalukan dan memilukan karena kehidupan yang diayomi oleh mereka
bernama “Panti Asuhan”.
Kehidupan itulah
yang kembali mengurai mimpi impian dan kenyataan. Di rumah lumutan ini
anak-anak hidup tanpa beban, kecuali tuntutan perut. Yang satu ini memang
pernah menjadi momok ketika seorang anak melesat ke rumah tetangga hanya karena
garam dapur. Mungkin karena ini pula anak-anak menjadi liar, seliar rusa yang
kembali ke hutan. Lagi-lagi mungkin ada benarnya karena banyak anak yang
minggat akhirnya dijemput orang tua mereka. Orang pun berseloroh “katanya panti
asuhan”. Selang berapa hari setelah itu lalu datang lagi orang tua yang mengaku
sebagai inang mereka. Para tetangga pun
kembali menjadi bingung. Akhirnya beberapa dari mereka berujar “bagaimana mau
sekolah, kebutuhan perut saja senin kamis, dikira panti ternyata gudang
manusia”, ha.ha.ha…….
0 Response to "CERPEN"
Posting Komentar