MATERI KULTUM
EDISI RAMADHAN
Materi I
Merajut Pakaian Taqwa
Pada
hakekatnya, pakaian adalah segala yang “melekat” di badan ini; entah baju, celana,
segala aksesoris yang “melekat” lainnya, termasuk perhiasan. Selaras dengan
pengertian ini, bahkan Allah membahasakan suami sebagai “pakaian” dari istri;
dan istri adalah “pakaian” dari suami (Q.S. Al-Baqarah: 187: hunna libaasul lakum wa antum
libaasun lahunna). Mungkin karena suami dan istri pun “melekat” satu sama
lain, hingga mereka tak ubahnya seperti pakaian.
Setidaknya ada 3 macam fungsi pakaian yang disebut di
dalam Al-Qur’an. Pertama,
pakaian sebagai penutup aurat (Q.S. An-Nuur: 58 dan Al-A’raf: 26). Kedua,
pakaian sebagai perhiasan (Q.S. Al-A’raf: 26). Dan ketiga, pakaian sebagai
pelindung, yakni dari panas dan hujan, juga dari serangan musuh (Q.S.
An-Nahl:81).
Tak kurang dari 20 ayat ditemukan di dalam Al-Qur’an yang
berbicara tentang pakaian. Entah memakai bahasa “libaasun”, “kiswatun”,
“saraabil”, maupun “tsiyab”. Namun, semuanya berbicara tentang pakaian
lahiriah. Pakaian dunia. Hanya ada satu yang menyebutkan tentang pakaian
ruhani.
Pakaian ruhani adalah sebenar-benar pakaian, yang
menunjukkan baik buruknya seseorang. Meski seseorang mengenakan pakaian
lahiriah yang mewah dan mahal, tetapi jika pakaian ruhaninya rusak, jelek, terhina,
maka dirinya akan terhina pula. Pakaian lahiriahnya tidak bermanfaat apa-apa.
Pakaian lahiriahnya tak bisa melindungi kejelekannya. Mungkin ia akan mulia
dalam pandangan manusia, tetapi tidak dalam pandangan Allah.
Apakah pakaian ruhani yang dimaksud? Al-Qur’an
menyebutnya sebagai pakaian taqwa (libaasut
taqwa). Sebagaimana firmannya, “Dan pakaian takwa
itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Q.S. Al-A’raf: 26).
Tentang taqwa, imam Ali karramallahu
wajhah berkata:
اَلْخَوْفُ
مِنَ الْجَلِيْلِ وَ الْعَمَلُ بِالتَنْزْيِلِ وَ اْلإِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ
الرَّحِيْلِ
(Takut
kepada Zat Yang Mahaagung; mengamalkan apa yang diturunkan (al-Qur’an); dan
menyiapkan diri untuk menyambut datangnya hari yang kekal [akhirat]).
Ramadan adalah hari-hari dimana kita memintal
benang-benang pakaian takwa itu. Hari demi hari kita memintalnya, dengan
harapan pada akhir Ramadan, hari kemenangan Idul Fitri, pakaian itu telah
sempurnalah sudah dan bisa kita kenakan di hari yang berbahagia itu. Bukan
untuk dipakai sekali, setelah itu dilepas kembali. Bukan. Tetapi, pakaian takwa
itu seharusnya kita pakai seterusnya sampai tiba kembali Ramadan berikutnya,
dimana kita akan memeriksa pakaian takwa itu kembali barangkali ada lubang,
kotor, sobek dsb yang perlu kita cuci, jahit dan rajut kembali.
Bagaimana kita merajutnya? Barangkali di sinilah
relevannya sabda Nabi Saw., “Jika datang bulan Ramadan, maka dibuka pintu-pintu
syurga, ditutup pintu-pintu neraka, dan dibelenggu semua syaitan.” (muttafaq ‘alaih).
Semua
tidak lain sebagai motivasi buat kita untuk memperbanyak amal kebaikan kita.
Mumpung kesempatan itu dibuka lebar-lebar oleh Allah. Allah sedang membuka “Big
Sale”. Obral besar-besaran. Tarawih, tadarus, sadaqah, membayar zakat, menolong
orang, memberi ta’jil orang berbuka puasa, menghentikan menggunjing orang. Semuanya
adalah jalan-jalan kebaikan; jalan-jalan merajut pakaian takwa kita.
Materi
2
Hakikat
Ramadhan
Sudah berapa kali kita berjumpa Ramadhan? Bagaimana kita memaknai
Ramadhan selama ini? Apakah kita biasa melaluinya begitu saja? Ataukah kita
menjalaninya dengan biasa-biasa saja? Ataukah kita benar-benar mengistimewakan
dan mengoptimalkannya untuk mengubah diri kita menjadi lebih baik lagi?
Jika kita ingin benar-benar mengistimewakan dan
mengoptimalkan Ramadhan, tidak bisa tidak kita harus memahami hakikat Ramadhan.
Berikut ini beberapa makna dan hakikatnya.
Bulan Ramadhan adalah Bulan
Bercermin Diri (Syahrul
Muhasabah)
Seberapa bersemangat dan seberapa mampu kita memanfaatkan
Ramadhan pada setiap menit dan detiknya, merupakan indikasi ketaqwaan kita
kepada Allah. Dari sini kita bisa menilai diri kita, apakah kita termasuk hamba
Allah yang dzalimun
linafsihi (masih suka menganiaya diri sendiri), atau yang muqtashid (yang
pas-pasan saja), ataukah yang sabiqun
bil khairat (yang bergegas dalam melaksanakan berbagai kebaikan).
Disamping itu, Ramadhan juga merupakan sarana yang sangat
tepat bagi kita untuk bercermin diri. Sebuah hadits muttafaq ‘alaih menyatakan bahwa
selama bulan Ramadhan syetan-syetan dibelenggu. Nah, jika syetan-syetan telah
dibelenggu tetapi kita masih saja melakukan dosa dan kemaksiatan maka seperti
itulah diri kita yang sebenarnya.
Bulan Ramadhan adalah Bulan
Limpahan Rahmat (Syahrur Rahmah)
Rasulullah bersabda, “Telah datang kepadamu bulan
Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan atas kamu berpuasa di
bulan ini … Barangsiapa tidak mendapat bagian kebaikannya, maka sungguh berarti
ia telah dijauhkan dari rahmat Allah.”
Pada bulan Ramadhan, Allah mencurahkan segenap rahmat-Nya
melebihi pada bulan-bulan lainnya. Pada bulan ini, Allah melipatgandakan pahala
amal kebaikan, memberikan semangat ketaatan kepada hamba-hamba-Nya, dan bahkan
memberikan bonus satu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu Lailatul Qadr.
Karena itu, rugilah kita jika selama bulan ini kita tidak memanfaatkan limpahan
rahmat Allah yang sedemikian besar.
Bulan Ramadhan adalah Bulan
Taubat (Syahrut Taubah)
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas
dasar iman dan berharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu
akan diampuni.” Beliau juga bersabda, “Barangsiapa berdiri (menegakkan shalat
malam, shalat tarawih) pada bulan Ramadhan atas dasar iman dan berharap pahala
dari Allah, maka dosa-dosanya yeng telah lalu akan diampuni.” Beliau bahkan
berkata, “Barangsiapa berpuasa lalu tidak berkata-kata buruk dan tidak
mengumpat maka ia akan keluar dari dosa-dosanya seperti keadaannya pada hari ia
dilahirkan oleh ibunya.” Jadi, apa lagi yang kita tunggu. Mari kita
banyak-banyak beribadah dan memohon ampunan kepada Allah, agar Ramadhan ini
dapat menjadi penghapus dosa-dosa kita.
Bulan Ramadhan adalah Bulan
Puasa (Syahrush Shiyam)
Puasa yang sejati tidaklah cukup hanya dengan
meninggalkan makan, minum dan hubungan suami isteri pada siang hari. Lebih dari
itu, puasa yang sejati adalah puasa yang bersifat total, yakni mempuasakan
seluruh anggota tubuh kita: akal pikiran, hati, mata, telinga, lidah, tangan,
kaki, dan anggota-anggota tubuh kita yang lainnya. Semuanya harus kita puasakan
dari berbagai bentuk dosa dan kemaksiatan. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa
tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan yang keji, maka sekali-kali Allah
tidak butuh dengan puasanya yang hanya meninggalkan makan dan minum saja.”
Bulan Ramadhan adalah Bulan
Al-Qur’an (Syahrul Qur’an)
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an. Pada
setiap bulan ini, Rasulullah selalu melakukan tadarrus Al-Qur’an bersama
malaikat Jibril. Beliau ingin memberikan teladan kepada kita semua agar kita
berinteraksi seakrab mungkin dengan Al-Qur’an selama bulan Ramadhan. Interaksi
ini meliputi banyak hal: membacanya, memahami maknanya, mengamalkannya, dan
mendakwahkannya. Akan lebih baik lagi jika kita juga berusaha untuk
menghafalnya sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.
Bulan Ramadhan adalah Bulan
Infaq dan Sedekah (Syahrul Infaq
wash Shadaqah)
Ramadhan bukan hanya kesempatan untuk beribadah secara
vertikal saja. Ia juga kesempatan emas untuk beribadah secara horisontal,
melakukan berbagai kebaikan kepada sesama. Di bulan ini kita sangat dianjurkan
untuk banyak berinfak dan bersedekah. Kita telah merasakan bagaimana rasanya
kelaparan dan kehausan. Sudah semestinya kita kemudian mampu berempati kepada
mereka yang selama ini biasa kelaparan dan kehausan, dengan cara berinfaq dan
bersedekah kepada mereka. Demikianlah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah.
Sebuah riwayat menyatakan bahwa kedermawanan beliau di bulan Ramadhan sampai
menyerupai angin yang bertiup.
Demikianlah beberapa makna dan hakikat Ramadhan. Jika
kita telah memahaminya maka selanjutnya kita harus bergegas untuk
mengimplementasikannya dalam hari-hari Ramadhan kita. Harapan kita, keluar dari
Ramadhan kita telah menjadi pribadi yang jauh lebih bertaqwa, la’allakum tattaqun.
Materi 3
Ramadhan Bulan Jihad (Bagian Pertama): Memahami Makna
Jihad
Rasulullah SAW. selalu
memotivasi para sahabat dengan kabar gembira akan datangnya Ramadhan, sebagaimana sabdanya, “Telah datang kepada
kalian bulan Ramadhan,
rajanya bulan, sambut dan hormatilah Ramadhan.”
Lintasan
sejarah Islam berbicara, terdapat hubungan yang penting antara jihad dan Ramadhan.
Selama kehidupan Rasulullah saw., dua buah peperangan terjadi di bulan Ramadhan,
yang pertama adalah Perang Badar yang terjadi di tahun kedua setelah hijrah,
dan yang kedua Penaklukan Mekkah (futuh Makkah) sekitar 6 tahun kemudian.
Bahkan,
setelah kehidupan Rasulullah SAW, bulan Ramadhan tetap menjadi bulan
konfrontasi militer penting bagi kaum muslimin. Beberapa kejadian penting yang
berhubungan antara bulan Ramadhan dan jihad
terus terjadi dalam kehidupan bersejarah kaum muslimin. Tentunya, Allah SWT
yang paling mengetahui hikmah yang besar mengapa bulan
Ramadhan begitu memiliki kaitan erat dengan jihad. Pastinya, Allah SWT sajalah yang mengetahui
hikmah itu semua dan memberikan indikasi dan tanda-tanda tersebut, yakni kaitan
antara Ramadhan dan jihad
kepada kaum muslimin.
Untuk
memahami lebih dalam hubungan ini maka seseorang haruslah memahami esensi jihad sebaik dia memahami esensi shaum. Jihad adalah aktualisasi dari ibadah seorang muslim
untuk membuktikan tidak ada kecintaan baginya kecuali hanya Allah SWT saja,
Rasulullah SAW, dengan upaya sekuat tenaga untuk menggapai Ridho Ilahi. Seorang
Mujahid dengan bersungguh-sungguh memberikan semua apa pun miliknya di dunia,
termasuk hidupnya, ini merupakan bukti bahwa dia sungguh-sungguh ikhlas
beribadah hanya kepada Allah SWT. semata. Dia tidak memiliki keinginan lain,
selain Allah SWT. Dia tidak menyembah materi apa pun dalam kehidupannya,
keinginannya, dan semua semata-mata ditujukan untuk menggapai keridloan-Nya.
Inilah tujuan seorang Mujahid dan tidak ada selain itu.
Untuk
beberapa alasan, banyak muslim tidak mampu melakukan keikhlasan dalam beribadah
tersebut. Mereka masih membutuhkan atau mengharapkan sesuatu yang lain meskipun
mereka tahu bahwa mereka adalah hamba Allah SWT, mereka masih lebih
mementingkan pekerjaan, keluarga, kesehatan, dan segala sesuatu yang merupakan
kenikmatan dunia. Salah satu jalan untuk mencapai tingkat ketulusan ibadah tersebut
adalah taqwa, sebagaimana firman Allah SWT.
“Wahai
orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS 2 : 183)
0 Response to "MATERI KULTUM"
Posting Komentar