MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING)
A. Pengertian Model Pembelajaran Berbasis
Masalah
Ada berbagai cara untuk mengaitkan konten dengan
konteks, salah satunya adalah melalui pembelajaran berbasis masalah (Problem
Based Learning). Model ini juga dikenal dengan nama lain seperti project
based teaching, experienced based education, dan anchored instruction
(Ibrahim dan Nur, 2004). Pembelajaran
ini membantu pebelajar belajar isi akademik dan keterampilan memecahkan masalah
dengan melibatkan mereka pada sistuasi masalah kehidupan nyata.
Pembelajara berbasis masalah diturunkan dari teori
bahwa belajar adalah proses dimana pembelajar secara aktif mengkontruksi
pengetahuan (Gijselaers, 1996). Psikologi kognitif modern menyatakan bahwa
belajar terjadi dari aksi pembelajar, dan pengajaran hanya berperan dalam
memfasilitasi terjadinya aktivitas kontruksi pengetahuan oleh pembelajar. Pembelajar
harus memusatkan perhatiannya untuk membantu pembelajar mencapai keterampilan self
directed learning.
Problem based learning sebagai suatu pendekatan yang dipandang dapat
memenuhi keperluan ini (Schmidt, dalam Gijselaers, 1996). Masalah-masalah
disiapkan sebagai stimulus pembelajaran. Pembelajar dihadapkan pada situasi
pemecahan masalah, dan pembelajar hanya berperan memfasilitasi terjadinya
proses belajar dan memonitor proses pemecahan masalah.
Dalam masyarakat pendidikan sains tampaknya
ada semacam kesepakatan bahwa peman sains perlu ditingkatkan pada fungsi
efektifnya dalam masyarakat demokratis untuk memecahkan masalah-masalah
seperti, keseimbangan industri dan lingkungan, penggunaan energi nuklir,
kesehatan dan lain-lain (Gallaher, et al, 1995). Oleh karena itu pendidikan sains
tidak hanya ditujukan untuk peman konten dan proses sains, tetapi juga memi dampak
sains pada masyarakat. Menghadapkan pembelajar pada masalah-masalah nyata
sehari-hari merupakan salah satu cara mencapai tujuan ini. Allen, Duch, dan
Groh (1996) mengemukakan pertimbangan penerapan PBL dalam pendidikan sain
seperti berikut :
Kontekstual. Dalam pembelajaran berbasis masalah pebelajar
memperoleh pengetahuan ilmiah dalam konteks dimana pengetahuan itu digunakan.
Pebelajar akan
mempertahankan
pengetahuannya dan menerapknanya dengan tepat bila konsep-konsep yang mereka
pelajari berkaitan dengan penerapannya. Dengan demikian pembelajar akan menyadari
makna dari pengetahuan yang mereka pelajari.
Belajar untuk
belajar (learningf to learn). Pengetahuan ilmiah, berkembang secara eksponential,
dan pebelajar perlu belajar bagaimana belajar dan dalam waktu yang sama mempraktekkan
kerja ilmiah melalui karier mereka. Pembelajaran berbasis masalah membantu
pembelajar mengidentifikasi informasi apa yang diperlukan, bagaimana menata
informasi itu kedalam kerangka konseptual yang bermakna, dan bagaimana mengkomunikasikan
informasi yang sudah tertata itu kepada orang lain.
Doing Science. Pembelajaran
berbasis masalah menyediakan cara yang efektif untuk mengubah pembelajaran
sains abstrak ke konkrit. Dengan
memperkenalkan masalahmasalah yang relevan pada awal pembelajaran, pembelajar
dapat menarik perhatian dan minat pembelajar dan memberikan kesempatan pada
mereka untuk belajar melalui pengalaman.
Bersifat interdisiplin. Penggunaan masalah untuk memperkenalkan
konsep juga menyediakan
mekanisme alamiah untuk menunjukkan hubungan timbal balik antar mata pelajaran.
Pendekatan ini menekankan integrasi prinsip-prinsip ilmiah.
B. Karakteristik Model Pembelajaran Berbasis
Masalah (PBL)
Para pengembang pembelajaran berbasis masalah (Ibrahim
dan Nur,2004) telah mendeskripsikan karaketeristik model pembelajaran
berbasis masalah sebagai berikut.
Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berbasis masalah dimulai
dengan pengajuan pertanyaan atau masalah, bukannya mengorganisasikan disekitar
prinsip-prinsip atau keterampilan-keterampilan tertentu. Pembelajaran berbasis
masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan atau masalah yang
kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna bagi pebelajar.
Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata autentik untuk menghindari jawaban
sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk sitausi itu.
Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun PBL mungkin berpusat pada mata
pelajaran tertentu. Masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya,
pebelajar meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
Penyelidikan autentik. Model pembelajaran berbasis masalah menghendaki pebelajar
untuk melakukan pennyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata
terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalsis dan mendefinisikan masalah mengembangkan
hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalsis informasi,
melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan
Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya. PBL menuntut pebelajar untuk menghasilkan
produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan
atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Bentuk tersebut
dapat berupa laporan, model fisik, video, maupun program komputer. Karya nyata itu
kemudian didemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang
telah mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif segar terhadap laporan
tradisional atau makalah.
Kerjasama. Model pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh
pebelajar yang bekerjasama satu sama lain, paling sering secara berpasangan
atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama memberikan motivasi untuk secara
berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang
untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial
dan keterampilan berpikir.
C. Prinsip-Prinsip dalam Penerapan
Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berbasis masalah secara khusus
melibatkan pebelajar bekerja pada masalah dalam kelompok kecil yang terdiri
dari lima orang dengan bantuan asisten sebagai tutor. Masalah disiapkan sebagai
konteks pembelajaran baru. Analisis dan penyelesaian terhadap masalah itu
menghasilkan perolehan pengetahuan dan keterampilan pemecahan masalah.
Permasalahan dihadapkan sebelum semua pengetahuan relevan diperoleh dan tidak
hanya setelah membaca teks atau mendengar ceramah tentang materi subjek yang
melatarbelakangi masalah tersebut. Hal inilah yang membedakan antara PBL dan
metode yang berorientasi masalah lainnya.
Tutor berfungsi sebagai pelatih kelompok yang
menyediakan bantuan agar interaksi pebelajar menjadi produktif dan membantu
pebelajar mengidentifikasi pengetahuan yang dibutuhkan untuk memecahkan
masalah. Hasil dari proses pemecahan masalah itu adalah, pebelajar membangun
pertanyaan-pertanyaan (isu pembelajaran) tentang jenis pengatahuan apa yang
diperlukan untuk menyelesaikan masalah? Setelah itu, pebelajar melakukan
penelitian pada isu-isu pembelajaran yang telah diidentifikasi dengan
menggunakan berbagai sumber. Untuk ini pebelajar disediakan waktu yang cukup
untuk belajar mandiri. Proses PBL akan menjadi lengkap bila pebelajar
melaporkan hasil penelitiannnya (apa yang dipelajari) pada pertemuan
berikutnya. Tujuan pertama dari paparan ini adalah untuk menunjukkan hubungan
antara pengetahuan baru yang diperoleh dengan masalah yang ada ditangan
pebelajar. Fokus yang kedua adalah untuk bergerak pada level pemahaman yang
lebih umum, membuat kemungkinan transfers pengetahuan baru. Setelah melengkapi
siklus pemecahan masalah ini, pebelajar akan memulai menganalisis masalah baru,
kemudian diikuti lagi oleh prosedur: analisis- penelitian- laporan.
D. Tujuan dan Hasil Belajar Model
Pembelajaran Berbasis Masalah
1) Keterampilan Berpikir dan Keterampilan
Memecahkan Masalah
Pembelajaran berbasis masalah ditujukan
untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Keterampilan berpikir
tingkat tinggi tidak sama dengan keterampilan yang berhubungan dengan pola-pola
tingkah laku rutin. Larson (1990) dan Lauren Resnick (Ibrahim dan
Nur, 2004) menguraikan ciri-ciri berpikir tingkat tinggi seperti berikut :
·
tidak
bersifat algoritmik (noalgoritmic), yakni alur tindakan tidak sepenuhnya
dapat ditetapkan sebelumnya,
·
cenderung
kompleks, keseluruihan alurnya tidak dapat diamati dari satu sudut pandang,
·
seringkali
menghasilkan banyak solusi, masing-masing dengan keuntungan dan kerugian, dari
pada yang tunggal,
·
melibatkan
pertimbangan dan interpretasi,
·
melibatkan
banyak kriteria, yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain,
·
seringkali
melibatkan ketidakpastian. Tidak selalu segala sesuatu yang berhubungan dengan
tugas diketahui,
·
melibatkan pengaturan diri (self regulated)
tentang proses berpikir,
·
melibatkan
pencarian makna menemukan struktur pada keadaan yang tampaknya tidak teratur,
·
berpikir
tingkat tinggi adalah kerja keras. Ada pengerahan kerja mental besar, besaran
saat melakukan elaborasi dan pertimbangan yang dibutuhkan.
Keterampilan-keterampilan berpikir tingkat
tinggi ini dapat diajarkan (Costa, 1985). Kebanyakan program dan
kurikulum dikembangkan untuk tujuan ini amat mendasarkan pada pendekatan
yang serupa dengan pembelajaran berbasis masalah ( Ibrahim dan Nur, 2004).
2) Pemodelan
Peranan Orang Dewasa
Resnick (Ibrahim dan Nur, 2004) mengemukakan
bahwa bentuk pembelajaran berbasis masalah penting menjembatani gap antara
pembelajaran sekolah formal dengan aktivitas mental yang lebih praktis yang
dijumpai di luar sekolah. Aktivitas-aktivitas mental di luar sekolah yang dapat
dikembangkan adalah :
·
PBL
mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas.
·
PBL
memiliki elemen-elemen magang. Hal ini mendorong pengamatan dan dialog dengan
yang lain sehingga pebelajar secara bertahap dapat memi peran yang diamati
tersebut.
·
PBL
melibatkan pebelajar dalam penyelidikan pilihan sendiri, yang memungkinkan
mereka menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun
femannya tentang fenomena itu.
3)
Belajar Pengarahan Sendiri (self directed learning)
Pembelajaran berbasis masalah berpusat
pada pebelajar. Pebelajar harus dapat menentukan sendiri apa yang harus
dipelajari, dan dari mana informasi harus diperoleh, dibawah bimbingan
pembelajar (Barrows, 1996). Dengan bimbingan pembelajar yang secara
berulang-ulang mendorong dan mengarahkan mereka untuk mengajukan pertanyaan
mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri, pebelajar
belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas itu secara mandiri dalam kehidupan
kelak (Ibrahim dan Nur, 2004).
E. Landasan Teoretik Model Pembelajaran
Berbasis Masalah
Temuan-temuan dari psikologi kognitif
menyediakan landasan teoretis untuk meningkatkan pengajaran secara umum dan
khsususnya problem based learning (PBL). Premis dasar dalam psikology
kognitif adalah belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan baru yang
berdasarkan pada pengetahuan terkini. Mengikuti Glaser (1991) secara umum
diasumsikan bahwa belajar adalah proses yang konstruktif dan bukan penerimaan.
Prosesproses kognitif yang disebut metakognisi mempengaruhi penggunaan
pengetahuan, dan faktor-faktor sosial dan kontektual mempengaruhi pembelajaran.
Berdasar pada pandangan psikologi kognitif terdapat tiga prinsip pembelajaran
yang berkaitan dengan PBL.
Prinsip 1. Belajar adalah proses
konstruktif dan bukan penerimaan. Pembelajaran tradisional didominasi oleh
pandangan bahwa belajar adalah penuangan pengetahuan kekepala pebelajar. Kepala
pebelajar dipandang sebagai kotak kosong yang siap diisi melalui repetisi dan
penerimaan. Pengajaran lebih diarahkan untuk penyimpanan informasi oleh
pebelajar pada memorinya seperti menyimpan buku-buku di perpustakaan.
Pemanggilan kembali informasi bergantung pada kualitas nomer panggil(call
number) yang digunakan dalam mengklasifikasikan informasi. Namun, psikologi
kognitif modern menyatakan bahwa memori merupakan struktur asosiatif.
Pengetahuan disusun dalam jaringan antar konsep, mengacu pada jalinan semantik.
Ketika belajar terjadi informasi baru digandengkan pada jaringan informasi yang
telah ada. Jalinan semantik tidak hanya menyangkut bagaimana menyimpan
informasi, tetapi juga bagaimana informasi itu diinterpretasikan dan dipanggil.
Prinip 2. Knowing About Knowing
(metakognisi) Mempengaruhi Pembelajaran. Prinsip kedua yang sangat penting
adalah belajar adalah proses cepat, bila pebelajar mengajukan
keterampilan-keterampilan self monitoring, secara umum mengacu pada metakognisi
(Bruer, 1993 dalam Gijselaers, 1996). Metakognisi dipandang
sebagai elemen esensial keterampilan belajar seperti setting tujuan (what am I
going to do), strategi seleksi (how am I doing it?), dan evaluasi tujuan (did
it work?). Keberhasilan pemecahan masalah tidak hanya bergantung pada pemilikan
pengetahuan konten (body of
knowledge), tetapi juga penggunaan metode pemecahan masalah untuk
mencapai tujuan. Secara khusus keterampilan metokognitif meliputi kemampuan
memonitor prilaku belajar diri sendiri, yakni menyadari bagaimana suatu masalah
dianalisis dan apakah hasil pemecahan masalah masuk akal?
Prinsip 3. Faktor-faktor Kontekstual
dan Sosial Mempengaruhi Pembelajaran. Prinsip ketiga ini adalah tentang
penggunaan pengetahuan. Mengarahkan pebelajar untuk memi pengetahuan dan untuk
mampu menerapkan proses pemecahan masalah merupakan tujuan yang sangat
ambisius. Pembelajaran biasanya dimulai dengan penyampaian pengetahuan oleh
pembelajar kepada pebelajar, kemudian disertai dengan pemberian tugas tugas
berupa masalah untuk meningkatkan penggunaan pengetahuan. Namun studi-studi
menunjukkan bahwa pebelajar mengalami kesulitan serius dalam menggunakan
pengetahuan ilmiah (Bruning et al, 1995). Studi juga menunjukkan bahwa pendidikan
tradisional tidak memfasilitasi peningkatan peman masalah-maslah fisika
walaupun secara formal diajarkan teori fisika ( misalnya, Clement, 1990).
Jika tujuan pembelajaran adalah
mengajarkan pebelajar untuk menggunakan pengetahuan untuk memecahkan
masalah dunia nyata, bagaimana seharusnya pembelajaran itu dilakukan? Mandl,
Gruber, dan Renkl (1993) menyarankan empat cara yaitu: pengajaran harus
diletakkan dalam konteks situasi pemecahan masalah kompleks dan bermakna;
pengajaran harus dipusatkan pada pengajaran keterampilan metakognitif dan bilamana
mengunakannya; pengetahuan dan keterampilan-keterampilan harus diajarkan dari
perspektif yang berbeda dan diterapkan pada setiap situasi yang berbeda;
belajar harus berlangsung dalam situasi kerjasama untuk mengkonfrotasikan
keyakinan yang dipegang oleh masing-masing individu. Strategi ini
dilandasi oleh dua model yang saling melengkapi cognitive apprenticeship dan
anchored instruction. Kedua
model ini menekankan bahwa pengajaran harus terjadi dalam kontek masalah
dunia nyata atau parktek-praktek professional.
Faktor sosial juga mempengaruhi belajar
individu. Glaser (1991) beralasan bahwa dalam kerja kelompok kecil
pembelajar mengekspose pandangan alternatif adalah tantangan nyata untuk
mengawali pemahaman. Dalam kelompok kecil pembelajar akan membangkitkan
metode pemecahan masalah dan pengetahuan konseptual mereka. Mereka menyatakan
ide-ide dan membagi tanggung jawab dalam memanage situasi masalah. Bruning,
Schraw, dan Ronning (1995) menyatakan bahwa pengajaran sains sangat efektif
bila hakikat sosial pembelajaran diterima dan digunakan untuk membantu
pebelajar memperoleh peman ilmiah secara akurat.
Bertolak dari prisnip-prinsip pembelajaran
di atas, pembelajaran berbasis masalah dapat ditelusuri melalui tiga
aliran pemikiran pendidikan yaitu: Dewey dan Kelas Demokratis:
Konstruktivisme Viaget dan Vygotsky, Belajar Penemuan Bruner (Ibrahim dan
Nur, 2004).
Dewey dan Pembelajaran
Demokratis
Pembelajaran berbasis masalah menemukan
akar intelektualnya pada penelitian John Dewey (Ibrahim & Nur, 2004). Dalam
demokrasi dan pendidikan Dewey menyampaikan pandangan bahwa sekolah seharusnya
mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk
memecahkan masalah kehidupan nyata. Ilmu mendidik Dewey menganjurkan pembelajar
untuk mendorong pebelajar terlibat dalam proyek atau tugas berorientasi masalah
dan membantu mereka menyelidiki masalahmasalah intelektual dan sosial. Dewey
juga menyatakan bahwa pembelajaran disekolah seharusnya lebih memiliki manfaat
dari pada abstrak dan pembelajaran yang memiliki manfaat terbaik dapat
dilakukan oleh pebelajar dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan
proyek yang menarik dan pilihan mereka sendiri.
Konstrukivisme
Piaget dan Vygotsky
Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan
diatas pandangan konstruktivis kognitif (Ibrahim dan Nur, 2004). Pandangan
ini banyak didasarkan teori Piaget. Piaget mengemukakan bahwa pebelajar dalam
segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan
membangun pengetahuan mereka sendiri. Bagi Piaget pengetahuan adalah
konstruksi(bentukan) dari kegiatan/tindakan seseorang (Suparno, 1997).
Pengetahuan tidak bersifat statis tetapi terus berevolusi.
Seperti halnya Piaget, Vygotsky juga
percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan
dengan pengalaman baru dan menantang dan ketika mereka berusaha untuk
memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman ini (Ibrahim & Nur,
2004). Untuk memperoleh pemahaman individu mengaitkan pengetahuan baru
dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki.
Piaget memandang bahwa tahap-tahap
perkembangan intelektual individu dilalui tanpa memandang latar konteks sosial
dan budaya individu. Sementara itu, Vygotsky memberi tempat lebih pada aspek
sosial pembelajaran. Ia percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain
mendorong terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual
pembelajar. Implikasi dari pandangan Vygotsky dalam pendidikan adalah bahwa
pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial dengan pembelajar dan teman
sejawat. Melalui tantangan dan bantuan dari pembelajar atau teman sejawat yang
lebih mampu, pebelajar bergerak ke dalam zona perkembangan terdekat mereka
dimana pembelajaran baru terjadi (Ibrahim dan Nur, 2004).
Bruner dan Belajar Penemuan
Bruner adalah adalah seorang ahli
psikologi perkembangan dan psikologi belajar kognitif. Ia telah mengembangkan
suatu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh yang disebut dengan
belajar penemuan. Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan
pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya
memberikan hasil yang lebih baik. Berusaha sendiri untuk pemecahan masalah dan
pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar
bermakna ( Dahar, 1998).
Bruner menyarankan agar pebelajar
hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperopleh pengetahuan. Perlunya
pembelajar penemuan didasarkan pada keyakinan bahwa pembelajaran sebenarnya
melalui penemuan pribadi.
F. Sintaks
Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran Berbasis Masalah biasanya
terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dari pembelajar memperkenalkan
pebelajar dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan
analisis hasil kerja pebelajar. Secara singkat kelima tahapan pembelajaran PBL
adalah seperti pada Tabel 1 berikut.
Tabel 9.1. Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah
Tahap
|
Tingkah
Laku Pembelajar
|
Tahap 1
Orientasi
pebelajar pada
masalah
|
Pembelajar
menjelaskan tujuan pembelajaran,
menjelaskan
logistik yang dibutuhkan, memotivasi
pebelajar
terlibat pada aktivitas pemecahan masalah
yang
dipilihnya. Pembelajar mendiskusikan rubric
asesmen yang
akan digunakan dalam menilai
kegiatan/hasil karya pebelajar
|
Tahap 2
Mengorganisasikan
pebelajar
untuk belajar
|
Pembelajar
membantu pebelajar mendefinisikan dan
mengorganisasikan
tugas belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut.
|
Tahap 3
Membimbing penyelidikan
individu maupun
kelompok
|
Pembelajar mendorong
pebelajar untuk mengumpulkan
informasi
yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk
mendapatkan
penjelasan dan pemecahan masalah.
|
Tahap 4
Mengembangkan dan
|
Pembelajar membantu pebelajar dalam merencanakan
dan
menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan,
|
Tahap 5
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah
|
Pembelajar
membantu pebelajar untuk melakukan
refleksi atau
evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan
proses-proses yang mereka gunakan
|
G. Asesmen Model Pembelajaran Berbasis
Masalah
Tugas-tugas asesmen untuk PBL tidak dapat
semata-mata terdidri dari tes kertas dan ensil (pencil and paper test).
Kebanyakan teknik asesmen dan evaluasi yang digunakan ntuk PBL adalah menilai
pekerjaan yang dihasilkan oleh pebelajar sebagai hasil enyelidikan/hasil kerja
mereka. Seperti pada model pembelajaran kontekstual lainnya, entuk asesmen PBL
terdiri dari asesmen kinerja dan portofolio. Berbeda dengan penilaian
tradisional (paper dan pencil test). Penetapan kriteria penilaian
tugas-tugas kinerja/ hasil karya harus dilakukan pada awal-awal pembelajaran
dan harus dapat dikerjakan oleh pebelajar (Fottrell, 1996). Kriteria penilaian
itu harus didiskusikan terlebih dahulu bersama pebelajar di kelas. Diskusi ini
meliputi berapa grade yang harus mereka capai dan siapa yang akan
menilai mereka (pembelajar, pebelajar, atau ahli luar).
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, M
& Mohamad N (2000).Pengajaran Berdasarkan Masalah, Surabaya :
Pusat Sains dan Matematika Sekolah, Program Pasca Sarjana Unesa, University
Press
Joyce, Bruce & Marsha Weil (1986).Models of
Teaching, New Yersey : Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs.
Lily
Budiardjo (2001).Hakekat Metode Instruksional, Jakarta : Pusat
Antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional,
Dirjen Dikti, Depdiknas
Nurhadi,
Burhan Yasin dan Agus Gerald Senduk (2004).Pembelajaran Kontekstual dan
Penerapannya dalam KBK, Malang : Universitas Negeri Malang
Tim
Pustaka Yustisia (2007).Panduan Lengkap KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan), Yogyakarta : Pustaka Yustisia
Udin S.
Winataputra (2001).Model-model Pembelajaran Inovatif, Jakarta :
Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas
Instruksional, Dirjen Dikti, Depdiknas
Djahiri,
A.K. (1992). Dasar-dasar Metodologi Pengajaran. Bandung : Lab.
PPMP IKIP Bandung
Hasan,
S.H. (1988). Evaluasi Kurikulum. Jakarta : P2LPTK Ditjen
Dikti-Depdikbud.
Djahiri,
A.K. (1992). Dasar-dasar Metodologi Pengajaran. Bandung : Lab.
PPMP IKIP Bandung
1 Response to "MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING)"
artikel yang layak untuk dijadikan referensi. terima kasih
Posting Komentar